(Kode PSIKOLOG-0003) : SKRIPSI GAMBARAN STRES DAN COPING PADA IBU DENGAN ANAK GAY YANG TELAH COMING OUT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada umumnya setiap individu menginginkan dan memerlukan hubungan yang kuat dan baik dengan keluarganya. Hanya di dalam keluargalah seseorang mendapatkan penerimaan yang tulus untuk eksistensi dirinya. Setiap anggota keluarga memiliki keistimewaan yang dapat melonggarkan kesabaran sampai pada batasnya. Bahkan sampai pada masa tersulit, keluarga merupakan tempat di mana kita dapat dimaafkan, diterima, dan diberikan awal yang menyenangkan. Keluarga adalah tempat di mana problem-problem harus dicurahkan untuk ditafsirkan, dipecahkan, didiskusikan, dipelajari mengapa problem tersebut muncul dan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya (Pearsall, 1996). Keluarga juga merupakan lembaga paling utama dan yang pertama bertanggung jawab di tengah masyarakat dalam menjamin kesejahteraan sosial dan kondisi kesehatan manusia, karena di tengah keluargalah manusia dilahirkan serta dididik sampai menjadi dewasa (Kartono, 1992).
Sebagai orangtua, ibu memikul tanggungjawab terhadap kehidupan anaknya. Menurut Martin dan Colbert (1997), kehidupan orangtua dan anak terkait selama periode kehidupan. Menjadi seorang ibu merupakan suatu hal yang didambakan oleh para wanita yang telah menikah. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, memiliki anak sebagai pelengkap bagi terbentuknya suatu keluarga yang utuh, masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat berarti. Anak dapat memberikan kebahagiaan, membuat orangtua terhindar dari rasa kesepian, dan memberikan berbagai manfaat emosional lainnya. Anak juga dirasakan penting sebagai generasi penerus, pengikat hubungan dengan pasangan, serta jaminan hidup di hari tua (Heriningrum, 1995). Setiap pasangan suami istri tentunya mengharapkan memiliki anak yang sehat dan normal, namun apa yang akan dilakukan keluarga, dalam hal ini khususnya ibu, apabila anak lelakinya mengatakan "Ibu...saya adalah seorang gay" , apa yang akan ibu katakan dan lakukan?
Pengakuan yang dilakukan oleh anak lelaki tersebut di atas dikenal dengan istilah coming out. Coming out merupakan suatu proses bagi gay ketika ia mengakui bahwa ia adalah seorang gay, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain (Miracle, 2003). Coming out ini merupakan tindakan yang sangat sulit bagi kaum gay, karena masih adanya tekanan yang sangat besar dalam masyarakat untuk menjadi 100% heteroseksual dan untuk menghindari semua fantasi seksual dan perasaan kepada seseorang yang berjenis kelamin sama (Rimmel & Weiner, 1995). Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih terikat nilai-nilai agama dan budaya. Seksualitas masih dianggap tabu untuk dibicarakan sebab masyarakat menganggap seks sebagai sesuatu yang alamiah. Seks adalah kodrat dan tidak perlu dikomunikasikan, apalagi diajarkan kepada anak-anak. Seksualitas itu sendiri menyangkut hak-hak manusia untuk menentukan pilihan-pilihan atas isu-isu yang intim dan menantang, otonomi, pilihan, dan pengambilan keputusan, termasuk orientasi seksual (Hidayana, 2004).
Dalam masyarakat yang memiliki sikap negatif terhadap gay, maka banyak gay yang segan untuk mengakui kepada teman atau keluarga bahwa ia adalah gay (Wells & Kline, dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Dalam lingkungan masyarakat seperti ini, mengakui bahwa dirinya gay dapat membawa resiko yang besar untuk kehilangan pekerjaan, pertemanan dan kehidupan sosial (Padesky, dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Seringkali kaum homoseksual mendapatkan ejekan yang ditujukan pada dirinya melalui humor, verbal abuse, ataupun kekerasan fisik (Greene & Herek, 1994). Oleh karena itu, coming out bisa sangat beresiko.
Pada masa remaja atau dewasa muda, hubungan gay dengan keluarganya seringkali mendapat cobaan ketika terjadi proses coming out. Bagi banyak gay, memberitahukan kepada keluarga adalah proses coming out yang paling sulit, karena ditolak oleh orangtua dan saudara kandung merupakan hal yang lebih menyakitkan dibandingkan ejekan-ejekan dari orang yang tidak dikenal atau ucapan yang sangat kasar dari orang yang baru dikenal (Miracle, 2003). Mereka merasa cemas dan sering merasa bersalah bahwa keputusan mereka untuk memberitahu keluarga apabila dirinya adalah seorang gay dapat membuat kecewa dan menimbulkan rasa marah (Greene, 1994).
Dalam banyak keluarga, tindakan ini dapat menyebabkan konflik, ketidaksetujuan dan penolakan sehingga menyebabkan buruknya hubungan kekeluargaan dalam jangka waktu yang lama untuk memunculkan pengertian dari pihak keluarga (Papalia, 2001). Banyak orangtua yang mengusir anak gay dan lesbian mereka dari rumah dan menghentikan dukungan finansial (Warren, dalam Miracle, 2003). Woog (dalam Miracle, 2003) mengatakan bahwa, orangtua juga dapat memberikan reaksi marah atau perasaan bersalah terhadap tindakan apa yang "salah" dalam membesarkan anak mereka tersebut. Biasanya proses membuka diri terhadap keluarga ini terbatas pada ibu dan saudara perempuan (Mays, Chatters, Cochran, & Mackness, dalam Papalia, 2001).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa orangtua dari anak gay yang melakukan coming out juga merasakan perasaan negatif (dalam hal ini stres) seperti yang dirasakan oleh anak gaynya. Ayah juga mengalami stres, tapi ibu dari anak gay yang melakukan coming out pada keluarganya dapat merupakan orang yang lebih rentan dan paling berpotensi untuk mengalami stres. Hal ini berkaitan dengan peran ibu, dimana ibu biasanya dianggap sebagai figur yang paling penting dalam lingkungan anak (Phoenix dkk., 1991). Dohrenwend (dalam Carter & Goldrick, 1989) juga menyatakan bahwa, wanita, dalam hal ini ibu, cenderung mengalami tingkat perubahan dan ketidak stabilan emosi yang lebih tinggi dalam hidup mereka dibandingkan dengan pria, serta lebih rentan terhadap stres di dalam kehidupannya. Hal ini didukung dengan pendapat Carter & Goldrick (1989), bahwa wanita dalam keluarga lebih responsif terhadap sekelompok orang, dimana ia merasa lebih bertanggung jawab terhadap suami, anak, orangtua, dan mertua. Adanya perasaan yang berlebih ini mengakibatkan wanita merasakan beban yang berlebih pula ketika stres yang tidak diduga terjadi, misalnya adanya penyakit, perceraian atau permasalahan pada anak, sehingga dapat dikatakan bahwa ibu mengalami stres ganda (doubly stressed). Ibu dihadapkan pada stres yang terjadi dan lebih responsif secara emosional terhadap stres tersebut (Gore, dalam Carter & Goldrick, 1989).
Setelah coming out pada anak dan konflik terjadi, terdapat perubahan dalam kehidupan berkeluarga yang dievaluasi sebagai situasi yang penuh tekanan dan tuntutan. Lazarus (1976) mengatakan bahwa apabila suatu keadaan atau situasi yang rumit tersebut pada akhirnya dirasakan sebagai keadaan yang menekan dan mengancam serta mampu melampaui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya, maka situasi ini dinamakan stres.
Stres melibatkan banyak variabel dan proses yang merupakan penilaian individu terhadap hubungan dengan lingkungannya yang dianggap relevan dengan kesejahteraan psikologisnya, atau yang melampaui sumber daya dalam dirinya. Penilaian tersebut mengarahkan individu pada proses coping yang sesuai dengan dirinya (Lazarus & Folkman; dalam Appley & Trumbull, 1986).
Coping merupakan suatu cara yang berorientasi intrapsikis untuk mengelola atau menguasai, menerima, mengurangi dan memperkecil tuntutan lingkungan, tuntutan internal dan konflik-konflik diantaranya (Lazarus & Launier; dalam Taylor, 1999). Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan individu untuk mengatasi stres, antara lain dengan mengontrol respon emosi yang timbul akibat stres tersebut, atau mengubah situasi yang dinilai stressful. Individu berusaha mengatasi stres yang dialaminya melalui proses kognitif dan transaksi tingkah laku dengan lingkungan yang melibatkan penilaian secara terus-menerus (Lazarus & Folkman; dalam Sarafino, 1998). Dari penjelasan sebelumnya, dalam menghadapi berbagai perubahan setelah anak coming out, terjadi stres pada diri ibu. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengambil ibu sebagai fokus utama penelitian untuk mengetahui gambaran mengenai stres dan coping yang dialami ibu dengan anak gay yang sudah coming out.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif digunakan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai gambaran stres dan coping yang dialami ibu dengan anak gay yang sudah coming out. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam dan pedoman wawancara yang digunakan adalah pedoman umum dengan bentuk pertanyaan yang fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan masing-masing subjek. Pedoman umum wawancara merupakan alat pengumpul data yang dibuat peneliti berdasarkan literatur ilmiah mengenai stres dan coping. Melalui wawancara mendalam peneliti akan mendapatkan gambaran stres dan sumber stres pada diri subjek serta seberapa jauh subjek menampilkan strategi coping dalam mengatasi stres tersebut.
1.2. Rumusan Permasalahan
Adapun permasalahan utama yang ingin dijawab dalam penelitian adalah "Bagaimanakah gambaran stres dan coping pada ibu dengan anak gay yang telah coming out?"
Formulasi permasalahan utama tersebut diuraikan dalam beberapa sub permasalahan sebagai berikut:
- Masalah-masalah apa sajakah yang muncul pada kehidupan ibu ketika anaknya mengakui tentang preferensi seksualnya?
- Bagaimanakah gambaran stres yang terjadi pada ibu dengan anak gay yang telah coming out?
- Bagaimanakah gambaran coping pada ibu dengan anak gay yang telah coming out?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran stres, serta proses coping pada ibu dengan anak gay yang telah coming out pada keluarganya.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dari penelitian ini pada umumnya dapat menjadi masukan yang berharga bagi masyarakat dan mahasiswa psikologi, khususnya dalam melihat gambaran stres dan coping ibu yang memiliki anak homoseksual yang berbeda dengan ibu yang memiliki anak heteroseksual dalam menjalani kehidupannya. Menjalani stres dan proses coping bagi ibu yang memiliki anak gay dapat merupakan masalah tersendiri karena hal-hal yang harus dihadapi oleh mereka pun dapat berbeda dengan ibu yang memiliki anak heteroseksual.
1.5. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing meliputi beberapa sub bab tersendiri. Berikut adalah gambaran mengenai isi masing-masing bab.
Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, yang dibagi ke manfaat teoritis dan praktis, dan sistematika penulisan.
Bab 2 berisi tinjauan kepustakaan yang terdiri dari teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah teori mengenai homoseksual, coming out, teori stres dan coping.
Bab 3 berisi metode penelitian yang digunakan yang terdiri dari pendekatan penelitian, partisipan penelitian, pengumpulan data, prosedur penelitian, serta proses analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab 4 berisi analisis hasil dan interpretasi yang terdiri dari analisis per kasus pada ketiga subjek ibu dengan anak gay yang sudah coming out dan dilanjutkan dengan analisis antar kasus.
Bab 5 berisi kesimpulan mengenai gambaran stres dan coping yang dialami ketiga subjek.