Menurut catatan, pada tahun 1951, istilah periklanan pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh pers indonesia, Soedarjo Tjokrosisworo, untuk menggantikan istilah reklame atau advertensi yang ke belanda-belandaan. Senapas dengan semangat kebangsaan itu, sebuah biro reklame di bandung yang sebelumnya bernama Medium, juga mengubah nama menjadi Balai Iklan. Atas prakarsa beberapa perusahaan periklanan yang berdomisili di Jakarta dan Bandung, pada awal September 1949 dilembagakan sebuah asosiasi bagi perusaaan-perusahaan periklanan. Asosiasi ini diberi nama Bond van Reclamebureaux in Indonesia atau dalam bahasa indonesia Perserikatan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama asosiasi yang masih menggunakan bahasa Belanda ini tidak lain karena mayoritas anggotanya adalah memang perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki oleh orang Belanda.
Sebelas perusahaan periklanan tercatat sebagai anggota PBRI, yaitu: Budi Ksatria, Contact, De Unie, F. Bodmer, Franklijn, Grafika, Life, Limas, Lintas, Rosada, dan Studio Berk. Akan tetapi, kehadiran PBRI dianggap hanya mewakili perusahaan-perusahaan periklanan besar khususnya yang dimiliki atau dikuasai oleh orang-orang Belanda. Perusahaan-perusahaan periklanan kecil merasa bahwa aspirasi mereka tidak memukau jalan untuk disampaikan ke dalam PBRI. Suasana seperti itu kemudian memicu lahirnya sebuah asosiasi perusahaan periklanan nasional yang dimliki dan diawaki oleh orang-orang Indonesia. Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN) dibentuk pada tahun 1953, dan sertamerta menjadi organisasi tandingan bagi PBRI. Tidak jelas mengapa semangat nasionalisme di dalam SBRN tidak memunculkan istilah iklan yang sudah dikenal sejak dua tahun sebelumnya, dan masih menggunakan istilah biro reklame yang berbau Belanda. Anggota SBRN yang tercatat adalah 13 perusahaan periklanan: Azeta, Elite, Garuda, IRAB, Kilat, Kusuma, Patriot, Pikat, Reka, Lingga, Titi, dan Trio. Tidak semua perusahaan perilanan bersedia bergabung ke dalam asosiasi. Contonya adalah Medium yang telah bertukar nama menjadi Balai Iklan. Ia memilih untuk tidak bergabung dengan salah satu dari dua asosiasi tersebut. Tjetje Senaputra, pemiliknya berdalih bahwa Balai Iklan tidak menangani iklan display dan karena itu tidak menganggap perusahaan sebagai full-service agency. Balai Iklan memang mengkhususkan diri pada iklan-iklan klasika berukuran kecil tentang lowongan kerja dan berita keluarga.
Ada pula dugaan bahwa terbentuknya SBRN diilhami oleh keterbelahan penerbit surat kabar yang juga memiliki dua asosiasi, yaitu: Perserikatan Persuratkabaran Indonesia (PPI), dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), PPI merupakan kelanjutan dari Verenigde Dagblad Pers di masa Hindia Belanda. Tentu saja keterbelahan perusahaan-perusahaan periklanan itu membuat prihatin F. Berkhout, Ketua PBRI pada saat itu. Ia kemudian menghubungi beberapa pimpinan SBRN dan mnawarkan dibentuknya fusi atau peleburan dari kedua asosiasi tersebut. Bila tujuannya sama, mengapa harus memakai dua kendraan yang justru menyulitkan pembinaan ke luar maupun ke dalam, di samping juga tidak mencuatkan kesan persatuan.
Gagasan fusi itu tampaknya diterima secara umum oleh kedua belah pihak. Orang-orang Belanda yang semula menguasai berbagai posisi dan fungsi di PBRI sepakat untuk mengundurkan diri agar digantikan oleh orang-orang Indonesia. Tetapi fusi itu secara organisatoris ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Dalam tubuh SBRN terjadi perpecahan, sehingga semua anggotanya mengundurkan diri dan bergabung ke dalam PBRI. Baru pada tahun 1956, melalui forum rapat umum anggota, secara aklamasi Muhammad Napis dikukuhkan sebagai ketua PBRI. Pada tahun 1957, PBRI menyelenggarakan Kongres Reklame seluruh Indonesia yang pertama. Dalam kongres tersebut, kata ”perserikatan” diubah menjadi ”persatuan”.