BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan seringkali diartikan pada pertumbuhan dan perubahan. Jadi pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Seperti diketahui sektor pertanian di Indonesia dianggap penting. Hal ini terlihat dari peranan sektor pertanian terhadap penyediaan lapangan kerja, penyedia pangan, penyumbang devisa negara malalui ekspor dan sebagainya. Oleh karena itu wajar kalau biaya pembangunan untuk sektor pertanian ini selalu tiga besar diantara sektor-sektor yang lain (Soekartawi,1993).
Menjelang abad ke-21, di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, terjadi suatu perubahan paradigma pembangunan secara drastis. Pada masa-masa awal sesudah memperoleh kemerdekaannya, paradigma pembangunan yang dominan di negara-negara tersebut adalah industrialisasi. Selain diharapkan dapat mengangkat harkat hidup penduduk di negara-negara yang sedang berkembang, secara politis industrialisasi juga akan menyejajarkan kedudukan negara-negara tersebut dengan negara-negara Barat, yang sebagian besar adalah negara-negara yang pernah menjajah mereka. Akibat dominasi dari paradigma industrialisasi dalam proses pembangunan, maka pembangunan sektor pertanian relatif ditelantarkan. Bahkan ada anggapan bahwa indikator keberhasilan suatu pembangunan adalah mengecilnya sumbangan sektor pertanian pada total pendapatan negara. Sebaliknya, apabila jumlah kontribusi sektor pertanian pada pendapatan nasional tetap tinggi, maka negara tersebut tetap dianggap sebagai negara yang terbelakang (Soetrisno, 2006).
Namun, tidak demikian dengan sektor pertanian, sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir dari para perencana pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Jika semula industrialisasi diandalkan sebagai suatu model pembangunan yang akan mampu memecahkan masalah keterbelakangan negara yang sedang berkembang, setelah krisis menimpa negara-negara tersebut, pembangunan sektor pertanian kemudian menjadi harapan baru dalam pembangunan di negara dunia ketiga (Soetrisno,2006).
Peran sektor pertanian yang merupakan dasar bagi kelangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan diharapkan mampu memberikan pemecahan permasalahan bagi bangsa Indonesia. Karena sektor pertanian mempunyai 4 fungsi yang sangat fundamental bagi pembangunan suatu bangsa yaitu :
1. Mencukupi pangan dalam negeri
2. Penyediaan lapangan kerja dan berusaha
3. Penyediaan bahan baku untuk industri, dan
4. Sebagai penghasil devisa bagi negara
Kondisi sosial budaya petani merupakan masalah utama dalam fungsi sektor pertanian di dalam pembangunan nasional dan kemampuan sektor tersebut untuk bersaing pada abad yang akan datang. Berdasarkan data statistik yang ada, saat ini sekitar 75% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan. Lebih dari 54% diantaranya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, dengan pendapatan yang relatif rendah jika dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di perkotaan. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan produktifitas para petani Indonesia, yang tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor, antara lain luas lahan yang dimiliki, kebijakan pemerintah dalam hal pemberian insentif kepada petani dan sebagainya.
Selama dasawarsa 1950an, masalah dasar yang dihadapi oleh pertanian rakyat di Indonesia tetap saja memproduksi pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang meningkat pesat. Produksi padi/gabah pada tahun 1951 di Jawa dan Madura diperkirakan 6,5 ton dengan hasil rata-rata 2,2 ton/hektar. Total produksi padi di Indonesia diperkirakan sekitar 10 juta ton. Banyak program dan kebijakan yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan produksi padi/gabah, diantaranya program Bimas Gotong Royong. Namun pada tahunl986 Indonesia mencapai swasembada beras oleh karena keberhasilan adopsi varietas unggul berproduksi tinggi dan penggunaan pupuk yang lebih banyak (Oudejans, 2006).
Petani memainkan peranan sebagai inti dalam pembangunan pertanian. Petanilah yang memelihara tanaman dan menentukan bagaimana usaha taninya harus dimanfaatkan. Petanilah yang harus mempelajari dan menerapkan metoda-metoda baru yang diperlukan untuk membuat usaha taninya lebih produktif. (Mosher, 1985).
Sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan serta wawasan yang memadai untuk dapat memahami permasalahan mereka, memikirkan pemecahannya, atau memilih pemecahan masalah yang paling tepat untuk mencapai tujuan mereka. Ada kemungkinan pengetahuan mereka berdasarkan kepada informasi yang keliru karena kurangnya pengalaman, pendidikan atau faktor budaya lainnya. Disini diperlukan peran penyuluhan untuk meniadakan hambatan tersebut dengan cara menyediakan informasi dan memberikan pandangan mengenai masalah yang dihadapi.
Metode penyuluhan yang lebih menguntungkan untuk dapat menyelesaikan permasalahan petani adalah metode kelompok karena ada umpan balik yang memungkinkan pengurangan salah pengertian antara penyuluh dan petani. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok (Van Den Ban, 2003).
Ide membuat suatu kelompok berasal dari kenyataan bahwa setiap individu tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan harapan seorang diri. Individu terutama dalam masyarakat modern, merasa kurang mampu, kurang tenaga, kurang waktu dan tidak berdaya bila harus memenuhi sendiri kebutuhan dasar atas makanan, naungan dan keselamatan. Bekerja bersama dalam kelompok adalah lebih murah dari pada kunjungan individu. Penyuluh pembangunan (PP) jelas terbatas yang berarti bekerjasama dengan kelompok adalah lebih rendah biayanya. Alasan terbentuknya suatu kelompok adalah oleh karena beberapa orang mempunyai persoalan yang sama (Rusdi, 1999).
Pendekatan pengembangan kelompok bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan dan kebutuhannya. Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah terbiasa bekerja berkelompok dengan bentuk yang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal yang ada. Dari sisi masyarakat, dengan berkelompok akan lebih mudah mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, dibandingkan dengan bekerja sendiri. Kelompok merupakan wadah belajar bersama dimana masyarakat bisa saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Selain itu kelompok membangun solidaritas sesama warga desa. Pengembangan kelompok merupakan serangkaian proses kegiatan memampukan/memberdayakan kumpulan anggota masyarakat yang mempunyai tujuan bersama (Kartasapoetra, 1991).
Sasaran pengembangan kelompok adalah siapa saja yang berminat terutama mereka yang kerapkali terabaikan, seperti kelompok masyarakat yang miskin, kaum perempuan, mereka yang berpendidikan rendah, dan juga mereka yang cacat serta kelompok lainnya. Mereka yang terabaikan merupakan bagian dari masyarakat, mereka juga mempunyai potensi dalam memecahkan permasalahan yang ada. Setiap anggota kelompok dapat berpartisipasi dalam pengembangan kelompok dengan segala potensi dan keterbatasan yang mereka miliki (Sastraatmadja, 1993).
Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Pembinaan kelompok tani diarahkan pada penerapan sistem agribisnis, peningkatan peranan, peran serta petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya, dengan menumbuhkembangkan kerjasama antar petani dan pihak lainnya yang terkait untuk mengembangkan usaha taninya. Selain itu pembinaan kelompok tani diharapkan dapat membantu menggali potensi, memecahkan masalah usaha tani anggotanya secara lebih efektif, dan memudahkan dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya (Dinas Pertanian Kota X, 2008).
Sejak dulu, diantara tanaman bahan makanan, padi merupakan tanaman utama para petani Indonesia. Padi dapat ditanam di lahan kering (up-land) maupun lahan basah atau biasa disebut sawah (wet-land). Sawah berperan dominan dalam produksi padi karena pada umumnya padi memang ditanam di lahan jenis ini. Peningkatan produksi padi bermula pada awal dan berlangsungnya Pelita I, terutama hingga tingkatan swasembada. Usaha peningkatan produksi padi tersebut berkat usaha bimbingan teknis oleh pemerintah kepada para petani secara serius, juga didukung oleh perbaikan infrastruktur secara fisik (jalan desa dan irigasi) maupun prasarana ekonominya. Beras dianggap sebagai komoditi strategis yang dominan dalam ekonmi Indonesia karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia. Kebutuhan beras setiap tahun bertambah sesuai pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat dan juga karena kebutuhan per kapita meningkat. Meningkatnya kebutuhan per kapita disebabkan oleh beralihnya penduduk bukan pemakan beras menjadi pemakan beras sebagai makanan pokoknya (Adiratma Roekasah, 2004).
Tren naik dan turunnya produksi padi sangat ditentukan oleh dua faktor yaitu luas panen dan produktifitas, dimana produksi merupakan hasil perkalian antara luas panen dengan produktifitas dalam suatu musim tanam atau periode tertentu. Petani di Kecamatan X pada umumnya adalah petani tanaman pangan khususnya tanaman padi sawah. Berdasarkan sensus pertanian diketahui produksi padi sawah di kecamatan tersebut masih rendah (7.871 ton) dengan luas lahan 1.537 Ha meskipun di daerah tersebut sudah ada kelompok tani. Berikut adalah luas lahan sawah dan rata-rata produksi padi di Kecamatan X:
** tabel sengaja tidak ditampilkan **
Kecamatan X terdiri dari 30 desa, dimana ada beberapa desa yang Luas Lahan padi sawah kurang dari 10 Ha dengan produksi rata-rata 2 ton/ha. Hal ini disebabkan karena beberapa desa tersebut menanam tanaman perkebunan dan juga karena beberapa desa ada yang irigasinya sudah tidak baik lagi sehingga petani terpaksa tidak menanam padi sawah.
Sementara beberapa desa lainnya memiliki luas lahan 70 ha dengan produksi 5 ton/ha. Desa Y luas lahan 100 ha dengan produksi sekitar 6 ton/ha. Desa Z luas lahan 70 ha dengan produksi sekitar 4,5 ton/ha. Desa X luas lahan 70 ha dengan produksi sekitar 5 ton/ha. Berdasarkan hasil sensus tersebut peneliti terdorong untuk mengetahui sudah sejauh mana peranan kelompok tani dalam peningkatan ststus sosial ekonomi petani padi sawah khususnya di desa X Kecamatan X maka perlu diadakan penelitian secara ilmiah.
B. Identifikasi Masalah
Masalah yang perlu diteliti adalah 1) kegiatan yang dilakukan kelompok tani dalam peningkatan status sosial ekonomi petani, 2) perbedaan tingkat kosmopolitan, perbedaan tingkat adopsi teknologi padi sawah petani, 3) perbedaan produktifitas petani, perbedaan pendapatan petani, 4) perbedaan perubahan pola konsumsi petani sebelum dan sesudah menjadi anggota kelompok tani X selama 3 tahun terakhir, 5) kendala yang dihadapi petani dalam menjalankan usaha tani serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah diatas.
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui 1) kegiatan yang dilakukan kelompok tani dalam peningkatan status sosial ekonomi petani, 2) menganalisis perbedaan tingkat kosmopolitan, tingkat adopsi teknologi padi sawah petani, produktifitas petani, pendapatan petani, serta perbedaan perubahan pola konsumsi petani sebelum dan sesudah menjadi anggota kelompok tani X, 3) mengetahui kendala yang dihadapi petani dalam menjalankan usaha tani serta upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
1) Sebagai bahan masukan bagi Badan Penyuluhan Pertanian (BPP) dalam membuat program penyuluhan pertanian untuk meningkatkan status sosial ekonomi petani.
2) Sebagai bahan referensi atau sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.
3) Sebagai bahan untuk membuat skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian Universitas X.