PERMASALAHAN Aceh belakangan ini menjadi diskursus publik di berbagai media massa. Mereka bahkan memaparkannya dalam ikon-ikon tersendiri. Ikon-ikon ini seperti halnya pada kasus penyerangan Amerika Serikat terhadap pemerintahan Saddam Husein di Irak. Eskalasi pemberitaan di berbagai media massa meningkat pesat seiring dengan meningkatnya konflik antara GAM dan TNI yang meningkat ketika pemerintahan Megawati mengeluarkan keputusan untuk menggelar operasi terpadu di wilayah Aceh.
Peperangan antara GAM dan TNI telah berlangsung lebih dari satu bulan. Dari beberapa informasi media massa menunjukkan bahwa perang ini telah menyebabkan kerugian harta benda dan nyawa, baik dari pihak TNI, GAM maupun pihak masyarakat sipil. Perang yang diawali tindakan diskriminatif baik secara ekonomi maupun politik oleh pemerintahan Orde Baru kepada masyarakat Aceh bukanlah fenomena baru dalam tatanan internasional. Padahal, dalam konvensi PBB Pasal 1 ayat 1 secara tegas menolak praktik-praktik diskriminasi. Perang yang dalam klasifikasinya termasuk kategori perang internal ini sebelumnya juga melanda negara-negara di Amerika Latin, khususnya ketika rezim-rezim diktator berkuasa di wilayah tersebut. Gerakan-gerakan yang mereka tempuh biasanya berupa gerakan pembebasan nasional.
Bagi pemerintah yang berkuasa yakni pemerintahan Mega-Hamzah, tindakan GAM tersebut dianggap sebagai usaha memberontak terhadap pemerintahan yang sah dan berdaulat. Pemerintah berpendapat bahwa GAM adalah gerakan separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan NKRI dan mengganggu semangat nasionalisme. Di Indonesia sendiri, gerakan pemberontakan semacam ini tidak hanya muncul di Aceh, tetapi juga di Papua, Makassar, dan wilayah lainnya. Gerakan ini marak ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang memberikan sedikit angin segar bagi kebebasan berpendapat.
Namun, di antara semua itu, GAM adalah bentuk organisasi pemberontak yang terbesar di wilayah Indonesia dilihat dari beberapa parameter. Pertama, GAM punya struktur pemerintahan sendiri yang tersebar hampir di seluruh wilayah Aceh. Dengan pemerintahan ini, GAM dapat menyelenggarakan kegiatan administrasi dalam interaksi sosial dan hal ini sudah dilaksanakan oleh GAM sehingga terdapat dua administrasi di wilayah Aceh.
Kedua, GAM memiliki angkatan perang yang jumlahnya memadai. Angkatan perang inilah yang kemudian menjalankan fungsi keamanan internal di tingkatan mereka. Kedua faktor inilah yang akhirnya membentuk parameter ketiga yakni otoritas de facto di wilayah Aceh.
Dalam kerangka hukum internasional, organisasi GAM dapat dikategorikan sebagai kelompok pemberontak (belligerent) yang diakui sebagai subjek dari hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah kesatuan entitas yang dapat dikenai hak dan kewajiban internasional. Selain kelompok pemberontak, subjek hukum internasional yang cukup penting adalah negara, individu, dan organisasi internasional. Pengakuan GAM sebagai subjek hukum internasional dilihat dari beberapa prinsip penting.
Pertama, kegiatan-kegiatan GAM telah mencapai suatu titik keberhasilan saat mereka dapat menduduki secara efektif dan membentuk otoritas de facto di wilayah Aceh yang sebelumnya dikuasai penuh oleh pemerintah Indonesia. Prinsip ini muncul karena ada pertimbangan negara lain menyangkut kepentingan perlindungan warga negaranya dan perdagangan internasional.
Dalam kondisi ini, negara-negara luar dapat mengambil keputusan untuk mengakui secara de facto kepada GAM terbatas pada wilayah Aceh. Pengakuan seperti ini pernah ditempuh pemerintah Inggris terhadap pihak pemberontak dalam perang saudara di Spanyol tahun 1937. Kedua, peperangan antara pihak GAM dan TNI telah mencapai dimensi tertentu di mana negara luar harus melihatnya sebagai perang sesungguhnya antara dua kekuatan. Konsekuensinya adalah pelaksanaan hukum perang bagi kedua belah pihak. Pengakuan keadaan berperang ini tentu sangat berbeda dari pengakuan pemerintah induk atau pemerintah pemberontak sebagai pemerintah yang sah.
Dalam pengakuan de facto kepada GAM, hanya pemerintah RI yang diakui secara de jure yang dapat mengklaim atas harta benda yang berada di seluruh wilayah RI termasuk Aceh. Selain itu, hanya pemerintah RI yang dapat mewakili negara untuk tujuan suksesi negara dan wakil-wakil dari kelompok GAM yang diakui de facto secara hukum tidak berhak atas imunitas-imunitas dan privilegde-privilegde diplomatik penuh (Starke:1992).
Oleh karenanya, jelas bahwa perang antara GAM dan TNI harus dilihat sebagai peperangan dua pihak yang harus memerhatikan hukum perang. Sebenarnya penyelesaian konflik antara GAM dan TNI dapat ditempuh dengan jalan diplomasi. Hal ini karena dalam perspektif hukum internasional, GAM dapat diakui sebagai kaum belligerent (pemberontak) sehingga mampu menjadi subjek dari hukum internasional. Meskipun pada proses historisnya jalan diplomasi kerap tidak menemukan titik temu, sebagai langkah demokratis, kegagalan tersebut harus saling diintrospeksi satu sama lain. Yang terpenting lagi adalah bagaimana mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat sipil sebagai komunitas mayoritas di Aceh dalam setiap meja perundingan.
Sejarah telah membuktikan bahwa cara-cara militeristik tidak mampu menyelesaikan perang. Masih teringat di benak kita bagaimana Orde Baru menggelar DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh sebagai suatu penyelesaian terhadap GAM. Yang terjadi adalah tumbuhnya benih-benih rasialisme yang berkembang hingga saat ini. Mampukah operasi militer menyelesaikan konflik antara GAM dan TNI ataukah justru akan menciptakan konflik yang berkepanjangan? Dialektika sejarahlah yang akan menjawab semua itu. ***
Oleh ENY PRIHATINI, asisten dosen pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran.
Sumber: Pikiran Rakyat