Penafsiran Konsep Penguasaan Negara

PENAFSIRAN KONSEP PENGUASAAN NEGARA
BERDASARKAN PASAL 33 UUD 1945 DAN
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh: Pan Mohamad Faiz


I. Pasal 33 UUD 1945 dan Konsep Penguasaan Negara

Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang dikenal sebagai pasal ideologi dan politik ekonomi Indonesia , karena di dalamnya memuat ketentuan tentang hak penguasaan negara atas:

* Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; dan
* Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Salah satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 adalah mengenai pengertian “hak penguasaan negara” atau ada yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan yang dirumuskan dalam ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut sama persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) UUDS 1950. Berarti dalam hal ini, selama 60 tahun Indonesia Merdeka, selama itu pula ruang perdebatan akan penafsiran Pasal 33 belum juga memperoleh tafsiran yang seragam.

Sebelum kita memasuki mengenai uraian tentang konsep penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu tentang beberapa teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu:

1. Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum.[1] Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souverenitet).
2. Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu.[2] Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii.[3]

Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam hal ini, dipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif.

Keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:

1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad.

Berikut ini adalah beberapa rumusan pengertian, makna, dan subtansi “dikuasi oleh negara” sebagai dasar untuk mengkaji hak penguasaan negara antara lain yaitu:

* Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh negara adalah dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.[4]
* Muhammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi.[5]
* Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut:

(1) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; (2) Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya persertaan pemerintah;(3) Tanah … haruslah di bawah kekuasaan negara; dan (4) Perusahaan tambang yang besar … dijalankan sebagai usaha negara.[6]

* Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara, sebagai berikut:

(1) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, (2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan, (3) Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu.[7]

Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara menurut W. Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut:[8]

1. Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.
2. Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepnetingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektifitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata.

II. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Penafsiran mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33 UUD 1945 juga dapat kita cermati dalam Putusan MK mengenai kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber daya alam. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara UU Migas, UU Ketenagalistrikan, dan UU Sumber Daya Air (UU SDA) menafsirkan mengenai “hak menguasai negara (HMN)” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad).

Dengan demikian, makna HMN terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap sumber daya alam, tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta berperan, asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana tersebut di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah memang tidak atau belum mampu melaksanakannya.

Seperti penafsiran Dr. Mohammad Hatta yang kemudian diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 pada tahun 1977 yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelola ayat (2) dan (3) Pasal 33 UUD 1945 dan di bidang pembiayaan perusahaan negara dibiayai oleh pemerintah, apabila pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai dapat melakukan pinjaman dari dalam dan luar negeri, dan apabila masih belum mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas dasar production sharing.[9]

Conditionally Constitutional: Catatan Bagi UU SDA

Khusus mengenai perkara judicial review UU SDA yang diajukan oleh sekelompok warga negara Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat, terdapat suatu pertimbangan khusus di dalam putusannya yaitu ketentuan mengenai conditionally constitutional[10]. Ketentuan ini tentunya masih asing di telinga kita, karena memang secara ekplisit keberadaan ketentuan conditionally constitutional, yang merujuk pada perkembangan hukum dunia, baru pertama kali diterapkan di dunia hukum peradilan Indonesia .[11]

Secara garis besar, ketentuan tersebut mempunyai pengertian bahwa apabila undang-undang a quo, dalam hal ini UU SDA, dalam pelaksanaannya ditafsirkan berbeda dengan apa yang ditafsirkan MK dalam pertimbangan hukum putusanya, maka terhadap UU tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk dapat diajukan pengujian kembali. Dengan adanya pertimbangan ini, sepertinya dapat kita artikan bahwa MK tidak saja menilai atas segala sesuatu yang telah terjadi di masa lalu sebagai pertimbangan hukumnya, tetapi juga mencoba untuk membuat pertimbangan sehingga mengeluarkan putusan yang bervisi ke masa depan, khususnya dalam mengawal pelaksanaan UU tersebut agar tetap sejalan dengan UUD 1945.[12]

Terlepas dari isi putusan Mahkamah tentang SDA yang menyatakan bahwa permohonan pemohon ditolak, yang jelas keberadaan ketentuan tersebut sempat menjadi perdebatan hangat. Toh sebagai konsekuensi logis atas putusan MK dalam permohonan judicial review UU SDA tersebut, berbagai peraturan pemerintah (PP) yang harus dan akan dibuat atas perintah dari dan untuk melaksanakan UU SDA harus betul-betul memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan dimaksud. Sebab apabila tidak, besar kemungkinan akan terkena conditionally constitutional warning dari Mahkamah, yang untuk kedua kalinya akan “berijtihad” (setelah menyatakan Pasal 50 UU MK tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat) dengan membuka kemungkinan dapat diajukannya kembali pengujian UU SDA dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 60 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”.

Notes

[1] Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal. 99.

[2] R. Wiratno, dkk, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum (Jakarta: PT Pembangunan, 1958), hal. 176.,

[3] Undang-undang dasar negara yang memuat ketentuan-ketentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya.

[4] Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Mutiara, 1977), hal. 28.

[5] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, (Jakarta: Djembatan, 1954), hal.42-43.

[6] Mohammad Hatta, loc. cit.

[7] Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 12.

[8] Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, ( Jakarta : Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, 2005), hal. 17.

[9] Prof. A. Mukthie Fadjar, “Pasal 33 UUD 1945, HAM, dan UU SDA,” Jurnal Konstitusi Volume 2 Nomor 2 (September 2005) : 7.

[10] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai pengujian undang-undang Sumber Daya Air.

[11]Yong-joon Kim, “Constitutional Adjudication System: Experience of Korea”, http://www.fas.harvard.edu/~asiactr/haq/200001/0001a002.htm, diakses 19 Desember 2005.

[12] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., dalam Temu Wicara “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia ” di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada tanggal 11 Desember 2005.
READ MORE - Penafsiran Konsep Penguasaan Negara

MAHKAMAH KONSTITUSI

THE GUARDIAN AND THE INTERPRETER OF THE CONSTITUTION
Oleh : Pan Mohamad Faiz Kusumawijaya, S.H

A. PENDAHULUAN

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945[2] menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY)[3]. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.B. KEWENANGAN

Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
  1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
  2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:

  • Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;[4]
  • Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;[5]
  • Memutus pembubaran partai politik; dan[6]
  • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;[7]
  • Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[8]

C. PEMOHON

Dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi, sebenarnya siapa sajakah yang boleh memohon (legal standing)? Ternyata tidak semua orang boleh mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon.[9] Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata[10] maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar.

Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi per­syaratan menurut undang-undang untuk meng­ajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mah­kamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Per­syaratan legal standing atau kedudukan hukum di­mak­sud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan da­lam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, yang bunyinya sebagai berikut:

  1. Perorangan warganegara Indonesia;
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
  3. Badan hukum publik atau privat; atau
  4. Lembaga Negara.

Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hak dan kewenangan kosntitusional? Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas. Dua kriteria dimaksud adalah:[11]

  • Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan Warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau (iv) lembaga negara;
  • Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

D. HUKUM ACARA

Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa.[12] Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).[13]

Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.

Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.

Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat dikenali sebagai berikut:[14]

  • Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
  • Peraturan Mahakamah Konstitusi (PMK);
  • Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI;
  • Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia;
  • Pendapat Sarjana (doktrin);
  • Hukum Acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.

Adapun secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:[15]

1. Pengajuan permohonan[16]

  • Ditulis dalam bahas Indonesia;
  • Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya;
  • Diajukan dalam 12 rangkap;
  • Jenis perkara;
  • Sistematika:
    - Identitas dan legal standing Posita
    - Posita Petitum
    - Petitum
  • Disertai bukti pendukung

2. Pendaftaran[17]

  • Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera:
    - Belum lengkap, diberitahukan
    - 7 (tujuh) hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi
    - Lengkap
  • Registrasi sesuai dengan perkara.
  • 7 (tujuh) hari kerja sejak registrasi untuk perkara.
    - Pengujian undang-undang:
    * Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
    * Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
    - Sengketa kewenangan lembaga negara:
    * Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
    - Pembubaran Partai Politik:
    * Salinan permohonan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan.
    - Pendapat DPR:
    * Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.

3. Penjadwalan Sidang

  • Dalam 14 hari kerja setela registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).
  • Para pihak diberitahu/dipanggil.
  • Diumumkan kepada masyarakat.

4. Pemeriksaan Pendahuluan

  • Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
    - Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
    - Kejelasan materi Permohonan.
  • Memberi nasehat:
    - Kelengkapan syararat-syarat permohonan.
    - Perbaikan materi permohonan.
  • 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.

5. Pemeriksaan Persidangan

  • Terbuka untuk umum.
  • Memeriksa: permohonan dan alat bukti.
  • Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan.
  • Lembaga negara dapat diminta keterangan Lembaga negara dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta.
  • Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
  • Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi luasa dan orang lain.

6. Putusan

  • Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:
    - Untuk perkara pembubaran partai politik, 60 hari kerja sejak registrasi.
    - Untuk perkara perselisihan hasil pemilu:
    * presiden dan/atau wakil Presiden, 14 hari kerja sejak registrasi.
    * DPR, DPD, dan DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi.
    * Untuk perkara pendapat DPR, 90 hari kerja sejak registrasi.
  • Sesuai alat bukti, minimal 2 (dua) alat bukti memuat:[18]
    - Fakta.
    - Dasar hukum keputusan
  • Cara mengambil keputusan:
    - Musyawarah mufakat.
    - Setiap hakim menyampaikan pendapat/pertimbangan tertulis.
    - Diambil suara terbanyak bila tak mufakat.
    - Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menentukan.
  • Ditandatangani hakim dan panitera.
  • Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
  • Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7 (tujuh) hari sejak diucapkan.
  • Untuk Putusan perkara:
    - Pengujian undang-undang, disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA.
    - Sengketa kewenangan lembaga negara, disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden.
    - Pembubaran partai politik, disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.
    - Perselisihan hasil pemilu disampaikan kepada Presiden.
    - Pendapat DPR, disampaikan kepada DPR, Presiden dan Wakil Presiden.

E. BEBERAPA PERKARA YANG TELAH DIPUTUS OLEH MAHKAMAH

Pada bulan Agustus 2006 kemarin, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia genap berusia 3 (tiga) tahun.[19] Dalam perjalanannya dalam mengawal konstitusionalitas Indonesia dan membangun budaya sadar berkonstitusi, Mahkamah Konstitusi terus berusaha menjadi lembaga negara yang dekat dengan publik, dekat dengan rakyat, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan rakyat dan negara Indonesia. Dengan sistem peradilan yang bersih dan didukung dengan Teknologi Informasi (TI) yang sangat modern,[20] berbagai perkara yang masuk dalam Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi telah berhasil diputuskan dan menjadi jalan keluar dari kebuntuan akan ketidakpastian hukum yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Sejak Mahkamah Konsitusi berdiri, penulis mencatat beberapa perkara yang sempat menjadi sorotan di tengah-tengah publik yaitu:

1. Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tahun 2004, terdiri dari:

  • Perkara PHPU Legislatif, berjumlah 273 perkara yang dikonsolidasikan ke dalam 44 permohonan, diajukan oleh 23 partai politik dan 21 calon anggota DPD.
  • 1 (satu) buah Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, diajukan oleh pasangan calon Presiden Wiranto dan calon Wakil Presiden Salahuddin Wahid.

2. Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD).[21]

3. Pekara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (PUU):

  • UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
  • UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
  • UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
  • UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
  • UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  • UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
  • UU No. 24 Tahun 2004 tentang Kamar Dagang Indonesia (KADIN).
  • UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
  • UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.
  • UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Beberapa Provinsi, Kabupaten/Kota di Irian Jaya.
  • UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
  • UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  • UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
  • UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2005.
  • UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

E. PENUTUP

Sebagai lembaga negara yang melaksanakan cabang kekuasaan di bidang yudikatif, Mahkamah Konsitutsi telah berdiri di Indonesia sebagai salah satu buah reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang dan kewajiban yang cukup berat dan strategis, sebagaimana halnya lembaga sejenis di negara-negara lainnya, yakni sangat terkait erat dengan konstitusi. Dengan mengacu kepada hal tersebut, secara teoritis Mahkamah Konstitusi mempunyai dua fungsi, sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi.

Mahkamah Konstitusi yang dinahkodai oleh sembilan Hakim Konstitusi[24] dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini telah menunaikan tugas-tugas konstitusionalitasnya, dan dengan jubah merahnya para Hakim Konstitusi telah berusaha sedemikian rupa untuk mewujudkan Mahkamah Konsitusi sebagai ”rumah konstitusi” sekaligus penjaga konsitusi (the guardian of the constitution).

Sudah berhasilkah Mahakamah Kosntitusi melaksanakan visinya untuk menciptakan tegaknya kosntitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang mertabat? Memang pada saat ini sesuai dengan usianya yang masih demikian muda, apa yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi masihlah belum terlalu banyak. Bolehlah dikatakan baru beberapa langkah dari ribuan langkah yang akan diayunkan hingga hari-hari esok. Namun langkah-langkah awal ini dipandang merupakan era peletakan dasar-dasar fundamental bagi perwujudan Mahkamah Konsitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya dalam rangka membangun konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar berkonstitusi diberbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa yang akan datang. Bukankah pepatah klasik Cina mengatakan, ”perjalanan beribu-ribu mil dimulai dengan satu langkah keyakinan”.


Notes
[2] UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan penyebutan atau penulisan resmi terhadap UUD 1945 yang telah 4 (empat) kali diamandemen. Hal ini digunakan untuk membedakan UUD 1945 yang belum diamandemen (UUD 1945) dengan UUD 1945 yang telah diamandemen (UUD Negara RI Tahun 1945).

[3] Lihat Pasal 24B UUD Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

[4] Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, serta buku “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang” karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H., yang tidak lama lagi akan segera diterbitkan, dimana penulis merupakan editor dari buku tersebut.

[5] Untuk saat ini referensi tulisan yang berkaitan dengan Lembaga Negara, dapat dilihat pada buku ”Sengketa Lembaga negara” yang telah diterbitkan oleh KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional).

[6] Lebih jelasnya lihat dan pelajari buku karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H., yang berjudul ”Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Kosntitusi”.

[7] Pemilihan Umum yang dimaksud di sini yaitu hanya terbatas pada pengertian Pemilihan Umum anggota Legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja, bukan termasuk pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Akan tetapi pada saat ini telah berkembang wacana dimana penyelesaian sengketa Pilkada yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung akan dimungkinkan dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, dikarenakan MA ternyata menemukan kesulitan terhadap penanganan perkara Pilkada itu sendiri.

[8] Rumusan terinci dapat merujuk pada Pasal 7B ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945 yang lebih dikenal dengan impeachment. Lihat juga buku ”Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945” karya Hamdan Zoelva, S.H., M.H., yang telah diterbitkan oleh Konstitusi Press belum lama ini.

[9] Semua perkara konstitusi di Mahkamah Konsti­tusi disebut sebagai perkara permohonan, bukan gu­gatan. Alasannya karena hakikat perkara konstitusi di Mahkamah Konstitusi tidaklah bersifat adversarial atau contentious yang berkenaan dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata ataupun tata usaha negara. Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara peng­ujian undang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. Undang-undang yang digugat adalah un­dang-undang yang mengikat umum terhadap sege­nap warga negara. Oleh sebab itu, perkara yang diaju­kan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permo­honan. Dengan demikian, subjek hukum yang mengajukannya disebut sebagai Pemohon.

[10] Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point d’interet point d’action, yaitu apabila ada kepentingan hukum diperbolehkan untuk mengajukan gugatan.

[11] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Kosntitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 81-82. (Maruarar Siahaan merupakan salah satu dari sembilan hakim konsitusi RI).

[12] Hal ini disebabkan oleh karena adanya sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andaikata permohonan hanya diajukan oleh seseorang atau individu tertentu.

[13] Perbedaan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam hal Judicial Review yaitu dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar harus dimohonkan kepada Mahakamah Konstitusi, sedangkan pengujian seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.

[14] Untuk sumber-sumber hukum acara yang disebut dalam huruf d, e, dan f merupakan sumber tidak langsung, dimana dapat diterapkan pada Mahkamah Konstitusi RI apabila terdapat kekosongan dalam pengaturan hukum acaranya.

[15] Lihat dalam BAB V Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan beberapa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang Hukum Beracara berdasarkan tiap-tiap kewenangan MK.

[16] Khusus untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), diajukan paling lambat 2 x 24 jam sejak KPU mengumumkan hasil pemilu.

[17] Khusus untuk perkara perselisihan hasil pemilu, paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi Salinan Permohonan disampaikan kepada KPU.

[18] Berdasarkan Pasal Pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengakui enam jenis alat bukti yang sah yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus setiap perkara konstitusi yang dimohonkan kepadanya. Keenam alat bukti itu adalah: 1. Surat atau tulisan; 2. Keterangan saksi; 3. Keterangan ahli; 4. Keterangan para pihak; 5. Petunjuk; dan 6. Alat bukti lain berupa informasi yang diucap­kan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

[19] Pendirian Mahkamah Konstitusi dimulai semenjak adanya pengucapan sumpah jabatan 9 (sembilan) hakim konsitutsi di Istana Negara, Jakarta pada tanggal 16 Agustus 2003.

[20] Mahkamah Kosntitusi pada saat ini bertempat di Jalan Merdeka Barat No. 7 Jakarta, dimana pada masa awal pembentukan pernah bertempat di Plaza Centris di Jalan HR Rasuna Said, Kav. B-5 Kuningan, Jakarta Selatan. Dan direncanakan pada tahun 2006 Mahkamah Konsitusi akan menempati gedung barunya (dalam proses pembangunan) yang sangat megah dan berarsitektur nilai tinggi pada Jalan Merdeka Barat No 6, Jakarta. Akan tetapi pemenuhan IT System pada lingkungan Mahkamah Konstitusi tidak pernah luput dan bahkan semakin membaik, dimana pada lingkungan kerja MK setiap pegawainya dilengkapi dengan komputer yang mempunyai akses internet 24 hours, LAN, Intercom, dan ruang persidangan yang mengikuti standar International, serta official website Mahkamah Konstitusi yang berdomain pada www.mahkamahkonstitusi.go.id. yang selalu up to date bagi masyarakat yang ingin mencari setiap putusan, risalah ataupun berita-berita yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

[21] Perkara SKLN ini diajukan oleh lembaga negara DPD yang isinya menyangkut dua lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yaitu DPD dengan Presiden terkait dengan pengangkatan Pimpinan dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2004-2009, dimana pada intinya DPD meminta MK memutus bahwa pengangkatan anggota BPK periode 2004-2009 tidak dilakukan dengan adanya pertimbangan dari DPD, padahal UUD 1945 mengatur mekanisme sebagaimana disebutkan. Dalam waktu 8 (delapan) hari dan hanya dalam tiga kali sidang, perkara tersebut telah diselesaikan dengan amar permohonan pemphon ditolak.

[22] Sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi RI, yaitu (1) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ketua); (2) Prof. Dr. Mohamad Laica Marzuki, S.H. (Wakil Ketua); (3) Soedarsono. S.H.; (4) I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.; (5) Prof. H. Ahmad Syarifudin Natabaya, S.H., LL.M., (6) Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., MS.; (7) Letjen TNI (Purn) H. Achmad Roestandi, S.H.; (8) Dr. Harjono, S.H., MCL.; (9) Maruarar Siahaan, S.H.


Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2001-2005), Peneliti pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan kini sedang mengambil Postgraduate Program Master of Comparative Law (M.C.L.) pada Faculty of Law, University of Delhi.



READ MORE - MAHKAMAH KONSTITUSI

KEMUNGKINAN DIAJUKANNYA PERKARA DENGAN KLAUSUL ARBITRASE KE MUKA PENGADILAN

I. Pendahuluan

Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya.[2]

Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.

Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:

“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”

Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:

”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mere
ka.[3]

Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apap
un.[4]

Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional te
rsebut.[5]

Dalam jurisprudensi, kita mengetahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist de Labourer dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri padahal sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya. Pada praktek saat ini juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase.

Melihat permasalahan diatas, maka timbul beberapa pertanyaan :
  1. Apakah Pengadilan berwenang memeriksa perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya?
  2. Sejauh mana keterkaitan antara pengadilan dengan lembaga arbitrase?

II. Pengaturan Mengenai Arbitrase

A. Definisi Arbitrase

Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:[6]

  1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
  2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).

Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasanpasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-PokokKekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetapdiperbolehkan.

B. Sejarah Arbitrase

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

C. Objek Arbitrase

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

C. Jenis-jenis Arbitrase

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.[7]

Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.[8]

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase sebagai berikut:[9]

"Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".

Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut:[10]

"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”

Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kaliadalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknyaklausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.[11]

D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :

  • kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
  • keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
  • para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;
  • para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ;
    para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
  • putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.

Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:[12]

  1. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
  2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
  3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
  4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.

Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.

III. Keterkaitan antara Arbitrase dengan Pengadilan

A. Hubungan Arbitrase dan Pengadilan

Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. [13]

Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

1. Putusan Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.[14]

2. Putusan Arbitrase Internasional

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

C. Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang Sudah Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya

Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement.[15]

Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya. Seperti dalam kasus berikut :

Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.[16]

Kasus diatas adalah salah satu contoh dimana pengadilan menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilan tidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Lalu apakah ada alasan-alasan yang dapat membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan klausul arbitrase? Dalam jurisprudensi salah satu contoh adalah Arrest Artist de Labourer.

Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676,
Arrest “Artis de Laboureur”
(dimuat dalam Hoetink, hal. 262 dsl.)
Persatuan Kuda Jantan ( penggugat ) telah mengasuransikan kuda Pejantan bernama Artis de Laboureur terhadap suatu penyakit /cacad tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan oleh Komisi Undang2 Kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir, karena menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari Perusahaan Asuransi. Didalam Polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka Pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat membantah dengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk mengadili perkara ini.

Pengadilan ‘s Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan :
Setelah Pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang santunan ganti – rugi sampai sejumlah uang tertentu. Pihak Asuransi naik banding.

Hof Amsterdam dalam keputusannya a.l. telah mempertimbangkan :
Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis ybs., para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan, namun para pihak telah membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaan mana menurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah masuk dalam kewenangan Hakim.

Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai benar, a.l. :………“ bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut( maksudnya : keputusan Dewan, penj.pen.) …….adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan “ atas dasar mana Hof menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan oleh Hakim dan karenanya membatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan Kuda Jantan naik kasasi.

Catatan : Pengadilan menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melanggar itikad baik

Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah, apakah maksud ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338 ayat 3 Ind ) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan patokan, subyektif - suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana - atau obyektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara Penggugat dengan Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan kepatutan menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini dipakai ukuran itikad baik yang obyektif

Dalam Arrest Artist de Labourer ini pengadilan menyatakan berwenang memeriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok perkaranya melainkan cara pengambilan keputusannya, apakah Dewan Asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan asas kepatutan dan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu itikad baik objektif atau subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad baik yang objektif lah yang dipakai.

Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang menyatakan bahwa, ” suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalmnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang”. Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik.

Dalam kasus Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh karena mengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa perkara tersebut karena bukan merupakan kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan hukum, dan dengan Mayora mengajukan perkara tersebut ke pengadilan negeri padahal saat itu arbitrase sedang berjalan, menunjukkan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud ketertiban umum oleh hakim adalah perkara tersebut sedang dalam proses di pengadilan hukum di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggar ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999, dan sayangnya Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini.

Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi dari hukum suatu negara. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut :[17]

  1. putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam peraturan perundangan negara, misalnya kewajiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak dilaksanakan ;
  2. putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan perundang-undangan negara tersebut mewajibkannya; atau
  3. jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengar argumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan.

Ketertiban umum yang dijadikan dalih PN Jakarta Selatan untuk menolak permohonan Bankers Trust tidak termasuk ketertiban umum yang sudah diuraikan diatas. Pengadilan Jakarta Selatan juga telah melakukan kesalahan karena memeriksa isi perkara dan bukan sekedar memeriksa penerapan hukumnya saja seperti dalam arrest Artist de Labourer.

Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.

IV. Kesimpulan

Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.

Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.

Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.

Daftar Pustaka:

[1] Terima kasih saya sampaikan kepada Chandra Karina, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Program Hukum Transnasional), atas waktunya guna memperkaya wawasan Law Blog ini.

[2] Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal.3.

[3] Ibid., hal.4.

[4] Budhy Budiman. Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap praktik Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.http://www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm. Diakses 30 Agustus 2006.

[5] Soemartono, op.cit., hal 74.

[6] Budhy Budiman, ibid.

[7] Soemartono, Op.Cit., hal.27.

[8] Ibid.

[9] Indonesian Banking Restructuring Agency (IBRA). Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian, http://www.gontha.com/view.php?nid=104, diakses 30 Agustus 2006..

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Budiman, Op.Cit.

[13] Ibid.

[14] Ibid., hal.74.

[15] Soemartono, Op.Cit., hal.70-71.

[16] Ibid. hal.73.

[17] Soemartono, Ibid., hal.76-66.

Diambil dari http://jurnalhukum.blogspot.com

READ MORE - KEMUNGKINAN DIAJUKANNYA PERKARA DENGAN KLAUSUL ARBITRASE KE MUKA PENGADILAN

Tempat Pendaftaran PTN (Peserta SPMB 2007)

Regional 1

1. Pantap Lokal Banda Aceh
- Universitas Syiah Kuala
- Universitas Malikussaleh
2. Pantap Lokal UNIMED Medan
- Universitas Negeri Medan (UNIMED)
3. Pantap Lokal USU Medan
- Universitas SUmatera Utara(USU)
4. Pantap Lokal UNP Padang
- Universitas Negeri Padang (UNP)
- Universitas Andalas (UNAND)
5. Pantap Lokal Pekanbaru
- Universitas Riau (UNRI)
6. Pantap Lokal Jambi
- Universitas Jambi (UNJA)
7. Pantap Lokal Bengkulu
- Universitas Bengkulu (UNIB)
8. Pantap Lokal Palembang
- Universitas Sriwijaya (UNSRI)
9. Pantap Lokal Tanjungkarang
- Universitas Lampung (UNILA)
10. Pantap Lokal Jakarta
- Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
- Universitas Indonesia (UI)
- Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN)
11. Pantap Lokal Bogor
- Institut Pertanian Bogor (IPB)
- Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA)
12. Pantap Lokal Bandung
- Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
- Institut Teknologi Bandung (ITB)
- Universitas Padjadjaran (UNPAD)
13. Pantap Lokal Banten
- Universitas Ageng Tirtayasa (UNTIRTA)
14. Pantap Lokal Pontianak
- Universitas Tanjungpura (UNTAN)
15. Pantap Lokal Khusus Luar Negeri
- KBRI Kuala Lumpur (Malaysia)

Regional 2

1. Pantap Lokal Purwokerto
- Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)
2. Pantap Lokal Semarang
- Universitas Negeri Semarang (UNNES)
- Universitas Dipenogoro (UNDIP)
3. Pantap Lokal Surakarta
- Universitas Sebelas Maret (UNS)
4. Pantap Lokal Yogyakarta
- Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
- Universitas Gajah Mada (UGM)
5. Pantap Lokal Palangkaraya
- Universitas Palangkaraya (UNPAR)
6. Pantap Lokal Banjarmasin
- Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM)
7. Pantap Lokal Samarinda
- Universitas Mulawarman (UNMUL)

Regional 3

1. Pantap Lokal Surabaya
- Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
- Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
- Universitas Airlangga (UNAIR)
- Universitas Trunojoyo (UNIJOYO)
2. Pantap Lokal Malang
- Universitas Negeri Malang (UM)
- Universitas Brawijaya (UNIBRAW)
3. Pantap Lokal Jember
- Universitas Jember (UNEJ)
4. Pantap Lokal Denpasar
- Universitas Udayana (UNUD)
5. Pantap Lokal Mataram
- Universitas Mataram (UNRAM)
6. Pantap Lokal Kupang
- Universitas Nusa Cendana (UNDANA)
7. Pantap Lokal UNM Makassar
- Universitas Negeri Makassar (UNM)
8. Pantap Lokal UNHAS Makassar
- Universitas Hasanuddin (UNHAS)
9. Pantap Lokal Palu
- Universitas Tadulako (UNTAD)
10. Pantap Lokal Kendari
- Universitas Haluoleo (UNHALU)
11. Pantap Lokal Tondano
- Universitas Negeri Manado (UNIMA)
- Universitas Khairun (UNKHAIR)
12. Pantap Lokal Manado
- Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT)
13. Pantap Lokal Ambon
- Universitas Pattimura (UNPATTI)
14. Pantap Lokal Jayapura
- Universitas Cendrawasih (UNCEN)
- Universitas Negeri Papua (UNIPA)
15. Pantap Lokal Gorontalo
- Universitas Negeri Grorontalo (UNG)
16. Pantap Lokal Singaraja
- Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja


Jadwal Ujian

Dipublikasikan oleh Admin pada 09-06-2006, pukul 12:16
WIB WITA WIT Materi
Rabu 07.30-08.00 08.30-09.00 09.30-10.00 Latihan Ujian
4 Juli 2007 08.00-10.30 09.00-11.30 10.00-12.30 K3B*

Kamis 07.30-10.00 08.30-11.00 09.30-12.00 Kemampuan IPA
5 Juli 2007 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 Istirahat
11.00-12.30 12.00-13.30 13.00-14.30 Kemampuan IPA

*Kemampuan Kuantitatif dan Kemampuan Bahasa (K3B) terdiri atas :

* 25 soal Matematika Dasar,
* 25 soal Bahasa Indonesia, dan
* 25 soal Bahasa Inggris.

Kemampuan IPA terdiri atas :

* 15 soal Matematika,
* 15 soal Biologi,
* 15 soal Kimia,
* 15 soal Fisika, dan
* 15 soal IPA Terpadu.

Kemampuan IPS terdiri dari :

* 20 soal Sejarah,
* 20 soal Geografi,
* 20 soal Ekonomi, dan
* 15 soal IPS terpadu.

Peserta Kelompok IPA harus mengikuti Latihan Ujian, Kemampuan Kuantitatif dan Kemampuan Bahasa, serta Kemampuan IPA.

Peserta Kelompok IPS harus mengikuti Latihan Ujian, Kemampuan Kuantitatif dan Kemampuan Bahasa, serta Kemampuan IPS.

Peserta Kelompok Campuran harus mengikuti semua ujian (Latihan Ujian, Kemampuan Kuantitatif dan Kemampuan Bahasa, Kemampuan IPA, dan Kemampuan IPS).

Regional

Meliputi Perguruan Tinggi di wilayah Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Barat , terdiri dari :
1. Universitas Syiah Kuala
2. Universitas Malikussaleh
3. Universitas Negeri Medan
4. Universitas Sumatera Utara
5. Universitas Negeri Padang
6. Universitas Andalas
7. Universitas Riau
8. UIN Sultan Syarif Kasim Riau
9. Universitas Jambi
10. Universitas Sriwijaya
11. Universitas Bengkulu
12. Universitas Lampung
13. Universitas Negeri Jakarta
14. Universitas Indonesia
15. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16. Institut Pertanian Bogor
17. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
18. Universitas Pendidikan Indonesia
19. UIN Sunan Gunung Djati Bandung
20. Institut Teknologi Bandung
21. Universitas Padjadjaran
22. Universitas Tanjungpura

Meliputi Perguruan Tinggi di wilayah Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, terdiri dari :
1. Universitas Jenderal Soedirman
2. Universitas Negeri Semarang
3. Universitas Diponegoro
4. Universitas Sebelas Maret
5. Universitas Negeri Yogyakarta
6. Universitas Gadjah Mada
7. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
8. Universitas Palangka Raya
9. Universitas Lambung Mangkurat
10. Universitas Mulawarman

Meliputi Perguruan Tinggi di wilayah Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua, terdiri dari:
1. Universitas Negeri Surabaya
2. Institut Teknologi Sepuluh Nopember
3. Universitas Airlangga
4. Universitas Trunojoyo
5. Universitas Negeri Malang
6. Universitas Brawijaya
7. UIN Malang
8. Universitas Jember
9. Universitas Udayana
10. Universitas Mataram
11. Universitas Nusa Cendana
12. Universitas Negeri Makassar
13. Universitas Hasanuddin
14. UIN Alauddin Makassar
15. Universitas Tadulako
16. Universitas Haluoleo
17. Universitas Negeri Manado
18. Universitas Sam Ratulangi
19. Universitas Pattimura
20. Universitas Khairun
21. Universitas Cenderawasih
22. Universitas Negeri Gorontalo
23. Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
24. Universitas Negeri Papua
READ MORE - Tempat Pendaftaran PTN (Peserta SPMB 2007)

SPMB 2007

Dikarenakan adanya pengunduran pengumuman hasil Ujian Nasional, maka terdapat beberapa perubahan jadwal pelaksanaan SPMB 2007, sebagai berikut:

1. Pendaftaran: 19 - 29 Juni 2007
2. Ujian : 4 - 5 Juli 2007
3. Ujian Ketrampilan: 9 - 14 Juli 2007
4. Pengumuman (melalui koran): 3 Agustus 2007
5. Pengumuman (melalui web): 2 Agustus 2007 pukul 20.00 WIB


Situs SPMB 2007 Live
Dipublikasikan oleh Admin pada 18-05-2007, pukul 11:23

Dengan ini kami menyatakan bahwa situs SPMB 2007 telah dapat digunakan bagi anda yang ingin mendapatkan informasi berkenaan dengan pelaksanaan SPMB tahun 2007.

Segala informasi mengenai SPMB 2007 dapat anda akses melalui menu ” SPMB ‘07 ” yang terdapat pada bagian atas dari situs ini.


Persiapan Situs SPMB 2007
Dipublikasikan oleh Admin pada 12-05-2007, pukul 04:52

Situs ini sedang dalam tahap persiapan sebagai media informasi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru 2007. Kami harap anda dapat memakluminya bila masih terdapat data-data yang anda lihat merupakan data tahun 2006.

-Panitia SPMB 2007-
READ MORE - SPMB 2007

PTN Peserta SPMB 2007

PTN Peserta SPMB 2007

Meliputi Perguruan Tinggi di wilayah Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Barat , terdiri dari :
1. Universitas Syiah Kuala
2. Universitas Malikussaleh
3. Universitas Negeri Medan
4. Universitas Sumatera Utara
5. Universitas Negeri Padang
6. Universitas Andalas
7. Universitas Riau
8. UIN Sultan Syarif Kasim Riau
9. Universitas Jambi
10. Universitas Sriwijaya
11. Universitas Bengkulu
12. Universitas Lampung
13. Universitas Negeri Jakarta
14. Universitas Indonesia
15. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16. Institut Pertanian Bogor
17. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
18. Universitas Pendidikan Indonesia
19. UIN Sunan Gunung Djati Bandung
20. Institut Teknologi Bandung
21. Universitas Padjadjaran
22. Universitas Tanjungpura

Meliputi Perguruan Tinggi di wilayah Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, terdiri dari :
1. Universitas Jenderal Soedirman
2. Universitas Negeri Semarang
3. Universitas Diponegoro
4. Universitas Sebelas Maret
5. Universitas Negeri Yogyakarta
6. Universitas Gadjah Mada
7. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
8. Universitas Palangka Raya
9. Universitas Lambung Mangkurat
10. Universitas Mulawarman

Meliputi Perguruan Tinggi di wilayah Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua, terdiri dari:
1. Universitas Negeri Surabaya
2. Institut Teknologi Sepuluh Nopember
3. Universitas Airlangga
4. Universitas Trunojoyo
5. Universitas Negeri Malang
6. Universitas Brawijaya
7. UIN Malang
8. Universitas Jember
9. Universitas Udayana
10. Universitas Mataram
11. Universitas Nusa Cendana
12. Universitas Negeri Makassar
13. Universitas Hasanuddin
14. UIN Alauddin Makassar
15. Universitas Tadulako
16. Universitas Haluoleo
17. Universitas Negeri Manado
18. Universitas Sam Ratulangi
19. Universitas Pattimura
20. Universitas Khairun
21. Universitas Cenderawasih
22. Universitas Negeri Gorontalo
23. Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
24. Universitas Negeri Papua
READ MORE - PTN Peserta SPMB 2007

LEGAL AID MOVEMENT AND HUMAN RIGHTS IN INDONESIA

1.The First Step of the Legal Aid Movement in Indonesia
The end of Indonesian Independence Revolution in 1945 brings the changes in many affairs of state. At that time, the concept of constitutional state and the constitutionalism principal obtained great conflicts from many Indonesian prominent figures which driven by Soekarno who thought that the concept arrived from liberal ideology. This case makes a direct consequence towards the weaknesses of human rights protection in 1945 Indonesian Constitution.
The Golden era of democracy and human rights during 1950-1959 apparently did not bring any changes towards human rights protection, for example, Indonesian government did not adopt Rechtsverordering (RV) but on the contrary adopted Het Indslansche Reglement (HIR) as judicial procedure prevailed in Indonesia and its justice court not Raad van Justitie but Landraad that of course HIR and Landraad had very poor guarantee towards the charges’ right protection. However, that condition was better than the period after to the present. At that time, the courts still had high integrity and independency because of the political system of the parliamentary democracy enabled strong society control so that could minimize the interfere of executive and legislative.

The period after could be say the dark era for the goal of forming constitutional state with democracy and social welfare in Indonesia. The interference of government power that clearly seen in many legal fields and government reluctant of strong organization society or independent civil society organization act towards the weaknesses of human rights protection in Indonesia.

The condition of the weak human rights protection especially for marginal society in Indonesia motivated the Indonesian Bar Association (Peradin) to form Lembaga Bantuan Hukum / Legal Aid Institute (LBH) throughout Indonesia. In the beginning of 1980’s Peradin served the forming of LBH in 12 provinces throughout Indonesia including LBH Bandung and consolidated under an umbrella organization called Yayasan LBH Indonesia / Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI). In the early phase of the forming, LBH got much defiance from administrator even The Restore and Order Command (Kopkamtib) – an extra judicial institution – forbid the forming of LBH throughout Indonesia. This case happened because LBH chose to oppose the administrator arbitrariness towards society and strongly positioned it self as a friend towards labor, farmer, poor town community and other marginal groups movements in Indonesia.

In the non-government organization movement history in Indonesia LBH known as the first type generation (conservative) based on philanthropy spirit in doing protection towards society. This stereotype appeared because LBH gave legal aid in pro bono publicio manner to the citizen community that protected. But the history proved that in authoritarianism phase LBH has become locomotive for democracy movements and human rights protection in Indonesia.

2.Legal Aid as a Tool Promoting Human Rights in Indonesia.
The issue of legal aid in Indonesia related to the confession of the principal constitutional state in UUD RI, that’s why the concept of constitutional state also related to human rights. However, a state based on constitutionalism should have the following criteria:

-Admission and protection towards human rights
-Free judicature and not take side, and also free from authority interference
-Legality in the meaning of law and all the forms

From the above three criteria, human rights got the first place so the law that could be the basic of a state should appropriate with the large society wish. During this time the law formed by the government and parliament never concern about the human rights principal as an ethical media and juridical forming, socialization and the validity.

Therefore, legal aid in Indonesia has strategic function related to promote human rights principal in Indonesia. At least the legal aid has three strategic functions namely:

-Service Function
Giving service towards marginal society group to gain the same chance before the law as other society groups have.
-Education Function
Giving education towards marginal society group to understand more about their rights.
-Alteration Function
Legal aid also can play positive role as a law reform media that side with marginal society.

If we see from legal aid strategic function, we can conclude that legal aid is the right that has to demand by every citizen in Indonesia, so the point is about the legal aid program that is the program to fight for standing human rights.

Therefore, legal aid not only gives service towards matters and cases that happened but also should direct to provide the form conditions for implementation effectiveness about the rights of marginal society.

The needy which pins down the biggest part of Indonesian society brings great influence towards human rights protection in Indonesia because it is not only disaster for humanity in accordance with law, politics, and economics. Should be noted that since along time justice means authority and wealthy, and this thing may caused injustice, so consequently in the implementation law will be more punch and crush the marginal society.

Therefore, legal aid not only aid in order that one can defend its rights but also means to reorganize injustice structure that happened in Indonesia through human rights promotion, so the justice can be felt certainly by marginal society.

3.LBH Bandung Experience on Human Rights Values Promotion Through Structural Legal Aid Concept

The Structural Legal Aid Concept (BHS) used by LBH Bandung in defending towards cases that are face by marginal society has become the most guidance principle in fixing the direction legal aid program in West Java – Indonesia which should has be done by LBH Bandung in the past, present, or future.

Structural Legal Aid used by LBH Bandung as a guidance principle since the early of 1980’s. Therefore, LBH Bandung has a point of view towards law case based on that structural legal aid concept.

Law case does not seen as a matter should be finished early, but also precise as an indication of deeper social conflict. For example, in the labor, live environment and land cases should be seen in macro context, that is unstable issue in allocating economic resources and hegemony conflicts towards other country.

Therefore, the step of anticipation that taken over to the law case not only bound the legal formal level, but also using legislative to provide the admission towards citizen rights, equitable law process, and refusing to authority arbitrariness.

The implication from this point of view towards job evaluation system in LBH Bandung is that the measure of success of executing legal aid program not only seen from winning or losing cases as a formal legal, but also considering other concrete social impacts resulted from executing that cases.

Legal cases that held by LBH Bandung used also as the first point for:
1.Effort to develop law function to form citizen rights has been admitted.
2.Effort institutional value and standard law through activities of awareness and publication in law field.
3.Effort to develop mechanism as an alternative to finish the law conflict that has public dimension.
4.Effort to develop critic function through justice court as a public forum.
5.Effort to contribute forming idea, reform, and law stand.
6.Effort to rearticulating the need of law for the society who feel the injustice from justice strip, bureaucracy, and other constitutional strip.
7.Effort to de-legitimate and deconstruction about the life state concept that weakened citizen position.

As a civil organization in West Java, LBH Bandung has a view that a country should protect and guarantee to fulfill civil, politics, economics, social, and culture rights and all the human freedom. In the future LBH Bandung sees that citizen should be positioned as a subject in forming equitable and supremacies law.

Therefore, the purpose of LBH Bandung directed to every effort to provide democratic constitutional state and guarantee the social welfare, in which law not only form by the compromise with modal power, but also appropriate with the need and society aspiration.

4.The Fall and Decline of YLBHI’s and Legal Aid Movement in Indonesia

The fall of YLBHI and 14 branch offices throughout Indonesia at the end of 2002 up to the present brings the important lesson for legal aid movement and other legal aid organization in Indonesia.

Legal aid movement done by LBH not only viewed again as a democratic locomotive in Indonesia. It is natural because in the beginning of forming LBH, the non government organization which against government arbitrary just very few, so that makes LBH called as democratic locomotive in Indonesia.

The name of LBH as democratic locomotive in the past, in fact has made LBH become disorientation towards legal aid program that become core competencies generally from LBH, so that the side function of law for marginal society that should be the basic services has forgotten. LBH in fact made society organization as a base function, and later LBH become wrapped around in forming many society organizations throughout Indonesia. This is not a significant mistake, but the most important lesson could be taken from the fall of YLBHI is LBH core competencies that could not take by side. Up to the present, the function of LBH in maintaining law cases toward marginal society in Indonesia cannot be forgotten and unchangeable even in the means of difficult condition often experience by LBH right now.

Up to the end of 2003 LBH Bandung still did associate law towards 24 cases involved more than 15,000 LL (about 60,000 people) throughout West Java. Typology from the cases associated by LBH includes labor, agrarian, living environment, children and law conflict, and other cases related corruption in Provincial Budget (APBD), violation of the election, and tortured. This thing proved that the function of LBH Bandung related to the core competencies that unchangeable in West Java.

Big dependency of LBH towards foreign fund also becomes the most important lesson in legal aid movement. LBH Bandung specifically wish there is a change relation between LBH Bandung with foreign fund, the changes is equitable relations and democratic. Besides, LBH should improve the ability to mobilize operational fund with using public fund for legal aid posted in province and town Budget (APBD) and more support from the local resources in West Java.

LBH Bandung up to the present still doing base criteria from legal aid organization and running its mission in pro bono publicio manner with legal aid program directed to every effort to reform law more protect marginal human rights in West Java.

5.The Future of the Legal Aid Movement and Legal Aid Organization Promoting Human Rights Protection in Indonesia

One of the most important factors for legal aid movement and legal aid organization in the future is society image about the legal aid itself. The idea about legal aid has not diverse flatly in marginal society.

Nevertheless, the forming positive image about legal aid in society is the first task especially from government in order to give service to the society. Giving the legal aid like that actually one of the government tasks and obligation to do the law and flat the justice in accordance with principle that Indonesia is a constitutional state.

Besides, strategy could be adopted by legal aid in promoting the human rights protections in Indonesia are:

-Ideology level
There is still rejection from Indonesian government towards human rights protection and the low society awareness about their rights. And being the most important to legal aid organization to convince the commitment about promotion and human right protection even in a country level or a society level.
-Legal Assistance
Legal Assistance can be an effective tool in legal aid organization. It is not only useful in defining several rights violation but also can be note for government and others. To express the fact about human rights violation can cause strategic power effect in gaining strong society and become a contribute value in order that functionary more emphasize to transparency effect and public accountability.
-Community Legal Empowerment
Marginal society that becomes the victim from low arrangements can be strong with facilitated critical legal education and its procedure and how law can be used as a media to protect the rights. Moreover, legal aid organization can combine the legal knowledge with other service like negotiation in the name marginal society and doing a lobby to reform the law in order to be more protective to marginal society.
-Using mechanism and international standard law
Knowing there is no regional mechanism in Asia, legal aid organization can use international mechanism and international standard law about human rights. Law norms of international human rights can be used in human rights education, to evaluate and oppose national law and to value government performance in doing its obligation to fulfill and protect human rights. Legal aid organization also can push standard integration and international human rights law norm into national law system.

anggara.wordpress.com
READ MORE - LEGAL AID MOVEMENT AND HUMAN RIGHTS IN INDONESIA

Tips Merakit PC

Berikut tips untuk membeli / merakit pc 2007, karna trend nya teknologi tahun ini sudah berbeda dengan teknologi tahun tahun sebelumnya, komponen komputer saat ini sangat cepat mengalami perubahan jadi kalaupun kita membeli motherboard superior untuk komputer rakitan kita di tahun 07 ini, mungkin akan menyesal nanti kalau era multicore akan masuk ke kancah prosesor, dan kita akan kesulitan untuk mengupgrade pc tersebut, kalau zaman dulu, era processor masih menggunakan die yang sama, ngga banyak berubah, soket 370 dan soket A nya AMD masih menjadi hal yang terus terngiang, namun sekarang, soket 745 keluar, baru sebentar keluar lagi soket 933 AMD, begitu juga intel, mengalami perubahan soket dalam kurun waktu yang sangat singkat, mulai dari soket 478, sampai sekarang ke soket LGA 775/Socket M sehingga untuk mengatasi ini kita tidak bisa berkutat untuk berharap dapat mengupgrade processor dalam tingkat generasi yang berbeda dengan soket yang sama, kemungkinanya kecil sekali.

Membeli pc tahun 2007 ini akan lebih memfokuskan ke Komponen pendukung, bukan motherboard lagi, dahulu mungkin kita beli motherboard tercanggih dan harga yang sangat tinggi berharap dapat mengupgrade processor, disk, memory grafis dan lainya di waktu depan, sekarang mungkin sudah tidak bisa seperti itu lagi.

Hal hal yang harus di perhatikan untuk membeli pc di tahun 2007 ini adalah:

1. Pilihlah komponen motherboard yang memiliki kapasitas memory yang besar, 2GB, 6GB atau lainya, dengan jumlah slot yang cukup memadai, hal ini perlu diperhatikan, karna untuk menyokong aplikasi aplikasi multicore, pasti membutuhkan banyak resource memory, sehingga, ketersediaanya slot untuk upgrade memory akan menjadikan jalan yang baik untuk waktu ke depanya.
2. Pilihlah soket processor terkini, baik itu untuk AMD (AM2) atau Intel (775), karna inilah latest soket yang ada disaat ini, dan setidaknya kita memiliki tenggang waktu untuk upgrade ke processor yang masih dalam generasinya.
3. Belilah Media penyimpanan yang lebih besar, 80GB sudah tidak memadai untuk saat ini, mulai lah dari angka 200GB, hal ini sangat penting, karena berbagai macam jenis aplikasi, game, dan file, akan memakan space yang cukup signifikan, disk 200GB tersebut dapat di partial kan, artinya kita memisahkan sistem dan disk data, misanya 80GB dan 120GB, dimana yang 80GB di pecah menjadi 2 harddisk yang akan di set Raid 0 untuk memaksimalkan kecepatan disk nya, atau kita bisa pakai hdd SAS (serial attach SCSI) terbaru,salah satu samplenya ini http://www.dailytech.com/article.aspx?newsid=5098 dan ternyata harddisk cepat yang hanya berukuran 2,5″ ini bisa mencapai 10K Rpm, dan keuntungan lainya SAS ini memiliki backward kompabilitas dengan interface SATA, hayoo, mari menghayal menggunakan disk ini sambil di RAID 0, brr gimana rasanya yah. mengenai SAS nya bisa mampir kesini. http://en.wikipedia.org/wiki/Serial_Attached_SCSI (kalau punya budget lebih)
4. Sudah saatnya untuk dual core, Mulailah untuk memilih processor dual core, Bisa X2 AMD, atau DuoCore Windows, tidak perlu membeli processor yang latest, sesuaikan saja dengan budget.
5. Gunakan LCD, sudah lupakan dengan teknologi CRT, LCD adalah sebuah teknologi hemat, memang kalau dari sisi harga CRT lebih murah dibandingkan LCD, tapi pernah kah kita menghitung cost listrik yang di habiskan tiap bulanya dengan menggunakan CRT dibandingkan LCD ?
6. Sediakan Graphics Card Yang memadai dengan budget, saran saya tidak perlu menggunakan graphic card yang extreme ( kecuali kalau kita seorang gamers ), spesifikasi graphic card yang kita butuhkan hanyalah graphic card yang mendukung directX9C, itu saja, sisanya tergantung kemampuan budget.
7. Prepared for Vista, karna suatu saat, kita pasti akan menggunakan OS ini, baik itu Ori, ataupun Bajakanya.

Semoga tips ini bisa bermanfaat, dan, happy Ngerakit….

ilmukomputer.com
READ MORE - Tips Merakit PC

Blog Archive