Penjelasan
Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang adalah anugerah-anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Penelaahan terhadap Al-Qur'ân memberikan kepada kita konsep unik tentang berbagai produk dan komoditas. Al-Qur'ân senantiasa menyebut barang-barang yang dapat dikonsumsi dengan menggunakan istilah-istilah yang mengaitkan nilai-nilai moral dan ideologik terhadap keduanya. Dalam hal ini dua macam istilah yang digunakan dalam Al-Qur'ân adalah (1). at-tayyibât dan (2) ar-rizq.
Istilah yang pertama, yaitu at-tayyibât, diulang-ulang sebanyak 18 kali dalam Al-Qur'ân. Dalam menerjemahkan istilah ini ke dalam bahasa Inggris, Yûsuf 'Alî secara bergantian mempergunakan lima macam frasa untuk menyatakan nilai-nilai etik dan spiritual terhadap istilah itu. Menurut pendapatnya, at-tayyibât berarti "barang-barang yang baik," "barang-barang yang baik dan suci," "barang-barang yang bersih dan suci," "hal-hal yang baik dan indah," dan "makanan di antara yang terbaik." Dengan demikian barang-barang konsumsi terikat erat dengan nilai-nilai dalam Islam, dengan menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian dan keindahan. Sebaliknya benda-benda yang buruk, tidak suci (najis) dan tidak bernilai tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam Islam.
Istilah yang kedua, yaitu ar-rizq, dan kata-kata turunnya diulang-ulang dalam Al-Qur'ân sebanyak 120 kali. Dalam terjemahan Al-Qur'ân Yûsuf 'Alî kata ar-rizq digunakan untuk menunjukkan beberapa makna sebagai berikut: "Makanan dari Tuhan," "Pemberian Tuhan," "Bekal dari Tuhan," dan "anugerah-anugerah dari langit." Semua makna ini menunjukkan konotasi bahwa Allah adalah Pemberi Rahmat yang sebenarnya dan pemasok kebutuhan semua makhluk.
Sebagai konsekuensinya, dalam konsep Islam, barang-barang konsumen adalah bahan-bahan konsumsi yang berguna dan baik yang manfaatnya menimbulkan perbaikan secara material, moral maupun spiritual pada konsumennya. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan juga tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat Muslim. Karena itu, barang-barang yang terlarang tidak dianggap sebagai barang dalam Islam.
Marilah kita perbandingkan konsep Islam mengenai barang-barang konsumsi ini dengan konsep bukan-Ilahi mengenai pemanfaatan yang ada dalam ekonomi modern. Meskipun dalam ekonomi modern segala sesuatu memiliki manfaat ekonomik bila ia dapat dipertukarkan di pasar, dalam Islam merupakan salah satu syarat yang perlu tetapi tidak memadai untuk mendefinisikan barang-barang. Barang-barang seharusnya bermanfaat secara moral dan juga dapat dipertukarkan di pasar sehingga memiliki manfaat ekonomik.