Siapa pun paham kalau tempe merupakan makanan bergizi karena kedelai sebagai bahan bakunya memang banyak mengandung nutrisi penting untuk metabolisme tubuh. Kedelai merupakan bahan pangan populer di Indonesia karena banyak produk makanan tradisional yang terbuat dari kedelai, misalnya tempe, tahu, dan kecap. Kedelai merupakan sumber protein, molibdenum, zat besi, kalsium, fosfor, serat, vitamin B1, B2, B6, E dan asam folat.
Kedelai juga mengandung senyawa-senyawa aktif yang sangat baik untuk kesehatan, misalnya fitosterol, lesitin, isoflavon, fitoestrogen dan inhibitor protease. Senyawa-senyawa tersebut sangat baik untuk kesehatan kita, antara lain meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, mencegah kanker, menurunkan kadar kolesterol, meningkatkan fungsi hati dan kandung kemih, berbagai kelainan neurologi, penyakit Alzeimer, penyakit Parkinson, mengurangi gejala PMS (premenstrual syndrome) dan osteoporosis. Khusus senyawa isoflavon sangat baik untuk mencegah kanker payudara dan usus.
Namun masih sedikit yang tahu kalau makanan bergizi seperti tempe tidak otomatis menyehatkan. Hal ini benar adanya kalau kita mengacu pada konsep "Real Food" (makanan sehat) yang sedang berkembang di negara-negara maju seperti AS, Jepang, Australia dan negara-negara Eropa.
Real food merupakan makanan yang memenuhi kriteria sbb: 1). Mengandung nutrisi penting untuk metabolisme tubuh, 2). Tidak mengandung komponen berbahaya, toksik, atau tidak berguna bagi tubuh, 3). Dihasilkan secara organik, 4). Dihasilkan secara lokal, 5). Dihasilkan secara berkelanjutan (sustainable), 6). Terjangkau oleh kebanyakan masyarakat (affordable), 7). Mudah diperoleh (accessible), 8). Mengalami proses pengolahan seminimal mungkin, 9). Ramah lingkungan, dan 10). Berpihak pada petani lokal.
Tempe termasuk real food jika kedelai yang digunakan sebagai bahan baku adalah kedelai yang ditanam secara organik. Jika bahan bakunya berasal dari kedelai transgenik (hasil rekayasa genetika) atau kedelai yang ditanam dengan pupuk kimia dan pestisida kimia, tempe tersebut tidak lagi dapat dikategorikan ke dalam real food. Mengapa? Walaupun kedelai transgenik memiliki nilai gizi yang setara atau bahkan lebih tinggi dari kedelai organik, terdapat masalah keamanan. Bisa jadi dalam jangka panjang makanan tersebut justru memiliki efek yang merugikan kesehatan. Kedelai yang ditanam dengan pupuk dan pestisida kimia juga mengandung residu pestisida yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan menurunkan kualitas lingkungan. Selain itu, kedelai transgenik secara ekonomi lebih menguntungkan perusahaan multi-nasional, bukan menguntungkan petani. Para petani bahkan dirugikan karena harus bergantung pada suplai bibit kedelai pada perusahaan besar tersebut. Bila kedelainya organik namun masih impor juga bukan termasuk real food karena tidak menguntungkan atau berpihak kepada petani lokal sesuai dengan konsep real food.
Dari 10 karakteristik Real Food di atas, tempe di Indonesia saat ini hanya memenuhi 4poin saja, yaitu no. 1, 6, 7, 8 sehingga dalam konsep Real Food tempe masih belum bisa dikatakan sebagai makanan sehat. Bahkan beberapa waktu yang lalu tempe sempat langka dan harganya naik sehingga kriteria terjangkau dan mudah diperoleh pun sempat tidak terpenuhi.
Saat ini pemerintah sudah berusaha keras mempertahankan kriteria murah dan mudah diperoleh dengan memberikan keringanan pajak impor kedelai untuk jangka pendek dan upaya peningkatan luas lahan kedelai dalam negeri serta meningkatkan produktivitas kedelai lokal untuk jangka menengah dan panjang. Para peneliti pun sudah banyak yang menawarkan solusi, terutama yang berkaitan dengan penggunaan varietas unggul kedelai dengan produktivitas tinggi dan substitusi kedelai sebagai bahan baku dengan bahan lain seperti kedelai hitam, koro dan lupin. Tinggal para pelaku usaha dan konsumen yang masih dituntut untuk memenuhi kriteria lainnya.
Penerapan pertanian organik menjadi syarat mutlak untuk real food. Dalam banyak penelitian sudah terbukti bahwa bahan pangan organik lebih menyehatkan dibanding bahan non-organik. Bahan pangan juga harus terjangkau secara luas, kalau tidak akan ada sebagian masyarakat yang tidak bisa menikmati kesempatan untuk sehat dari bahan pangan tersebut. Juga harus murah. Kalau tempe mahal sehingga tidak terjangkau, sebagian masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bahan pangan yang bergizi dan sehat. Pada kasus lain, kalau bahan baku tempe impor tiba-tiba dihentikan (embargo) oleh produsen di LN, kita akan mengalami masalah ketahanan pangan. Ujung-ujungnya tempe tidak ada di pasar dan orang-orang yang sangat mengandalkan tempe sebagai sumber makanan bergizi akan kesulitan dan akhirnya bisa sakit karena tidak bisa makan tempe lagi.
Label: Real Food
Tempe sebenarnya bukan bahan pangan yang asing bagi orang Indonesia, terutama Jawa. Ia yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Manuskrip Serat Centini yang terbit sekitar 1815 di Keraton Solo mencatat, kebiasaan makan tempe sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Sedangkan buku pertama yang mengemukakan berbagai hal soal tempe, diterbitkan pada 1895. Buku itu karya mikrobiolog Belanda, H.C. Princen Geerligs.
Bahkan, bahan pangan dari kedelai ini diperkirakan telah populer sejak perkembangan kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia. Ini mirip dengan keadaan di Cina dan Jepang. Di kedua tempat itu perkembangan agama Buddha selalu diikuti dengan perkembangan berbagai jenis pangan asal kedelai.
Namun, meski tempe telah �lahir� berabad-abad lalu, namanya tak pernah melangit. Ia selalu merakyat. Berbeda dengan jenis bahan pangan lain, terutama yang berbau-bau Barat, yang begitu cepat digemari. Padahal, soal kandungan gizinya belum tentu lebih baik.
Citra rendahan, yang melekat pada tempe, mungkin berpengaruh besar terhadap popularitasnya. Di pasar swalayan pun tempe tenggelam oleh melubernya bahan pangan bergengsi lainnya. Bahkan, amat sangat jarang sekali hotel berbintang menyediakan menu makanan berbahan tempe. Tempe masih diidentikkan dengan kemiskinan lantaran harganya murah, cara pembuatannya sederhana dan seringkali tidak higienis.
Namun, pada saat ini bayang-bayang suram itu tidak sepenuhnya benar. Tempe telah penjadi produk pangan yang dihasilkan melalui proses yang lebih higienis. Bahan baku kedelainya tidak lagi diijak-injak kaki telanjang. Air pembersihnya pun berasal dari air sumur, bahkan PDAM. Sosoknya pun semakin �kekar� berkat kedelai impor yang dihasilkan petani �bule�. Bahkan, raginya (inokulum, kapang Rhizopus sp.) merupakan hasil penelitian LIPI. Berkat ragi tadi rasa tempenya pun relatif lebih enak, asal dikonsumsi saat masih berstatus tempe, bukan tempe bosok.
Tempe tanpa kulit dianggap berkualitas lebih baik ketimbang yang dengan kulit. Oleh Zaenal Arifin, perajin tempe di Ciluar, Bogor, tempe macam ini disebut �tempe super�. Proses pembuatannya sedikit lebih rumit. Menurut Kulsum, juga perajin tempe, tempe tanpa kulit biasanya dibuat lebih padat kedelai ketimbang yang dengan kulit. �Seperti pada tempe buatan saya, dalam kemasan plastik 16 x 25 cm bobot kedelainya 8 ons, sedangkan yang dengan kulit cuma 5 ons,� jelasnya. Wajar, kalau tempe tanpa kulit lebih mahal dan cocok untuk dijadikan kripik. Sayang, data perbedaan nilai gizi di antara keduanya belum ditemukan.
Secara visual keduanya bisa dibedakan setelah dipotong melintang. Tempe tanpa kulit lebih bersih. Kepadatan kedelainya cukup tinggi dan jamur tempenya terlihat sedikit. Sedangkan yang dengan kulit terlihat seperti ada �benda tak berguna� di antara kedelainya.
Menurut H. Yayang Taryono, sekretaris Primkopti (Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indomesia) Kodya Bogor, berdasarkan tingkat kebersihan dari kulit kedelai, tempe dibedakan atas tiga tingkatan kualitas. Yang terbaik adalah tempe yang tingkat kebersihannya dari kulit mencapai 80% (ke atas). Tempe ini biasanya untuk pasokan pasar swalayan. Berikutnya, tingkat kebersihannya 60%. Kebanyakan tempe yang ada di pasar termasuk kelompok ini. Bahkan, di pasar induk ada pula tempe dengan tingkat kebersihannya cuma 40 � 50%.
Soal enak tidaknya, Yayang memberi kriteria umum bahwa tempe enak adalah tempe yang padat kedelai (sedikit sekali terlihat jamur di antara kedelainya) dan rasa kedelainya nyata. �Kalau (rasa) sari kedelainya tidak terasa ya bukan tempe enak,� jelasnya sembari memberi contoh tempe Malang (yang sebenarnya) sebagai tempe enak. Sementara, Zaenal menyatakan tempe enak adalah yang bersih (dari kulit ari). �Padat atau tidak, tidak jadi masalah,� katanya.
Yayang menyatakan, dengan penyimpanan baik sehingga memungkinkan tempe bernapas, tempe bisa tahan 5 � 10 jam. Bila ditumpuk, masa keenakannya berkurang. Dengan ditumpuk, panas akan muncul pada tempe sehingga ia akan cepat membusuk. �Kalau disimpan di dalam kulkas, tempe bisa tahan 2 � 3 hari,� jelas Yayang.
Sementara menurut Kulsum dan Zaenal, di udara terbuka tempe akan tahan selama satu hari tanpa ada perubahan rasa. �Kalau di simpan dalam lemari es bisa tahan hingga seminggu meskipun rasanya agak berubah, tak seenak tempe baru jadi,� tambah Kulsum yang dalam sehari menghabiskan kedelai kering 50 kg untuk dijadikan tempe.
Soal pengawetan ini, beberapa peneliti mencoba teknik pengawetan tempe. Di antaranya dengan cara pengeringan. Tempe dipotong-potong empat persegi dengan sisi 2,5 cm. Lalu dikeringkan dalam pengering bersirkulasi udara pada suhu 69oC selama 90 � 120 menit. Dengan cara ini kadar air tempe berkurang 2 � 4%. Dalam kantung plastik kedap uap air, tempe kering macam ini bisa tahan beberapa bulan pada suhu ruangan. Namun, terjadi-tidaknya perubahan nilai gizi tempe setelah dikeringkan belum diketahui dengan jelas.
Cara pengawetan lainnya, melalui proses pembekuan. Tempe dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. Lalu dimasukkan dalam air mendidih selama 5 menit. Pemanasan ini akan menonaktifkan jamur dan enzim proteolitik dan lipolitik. Setelah dingin dikemas dalam selofan dan dibekukan dalam frezeer. Cara ini bisa mengawetkan tempe hingga 100 hari tanpa perubahan berarti dalam penampilan, warna, dan rasa.
Teknik pengawetan terbaru adalah dengan menunda proses fermentasi. Tempe belum jadi (telah diinokulasi/diberi ragi tapi belum diinkubasi/difermentasi) dimasukkan dalam kemasan plastik dan disimpan dalam frezeer. Bila hendak dikonsumsi, sehari sebelumnya calon tempe dikeluarkan dari frezeer dan plastik diberi perforasi untuk aerasi. Calon tempe dibiarkan di ruangan terbuka pada suhu sekitar 30 oC selama 20 � 22 jam. Tempe siap dimasak, lalu disajikan.
Ditinjau dari segi gizi, tempe dikenal sebagai sumber protein (nabati) yang baik. Namun, perbandingan nilai gizi tempe dengan kedelai sebelum difermentasi sering kontroversial. Sebagian peneliti melaporkan adanya peningkatan dan sebagian lagi tidak ada peningkatan nilai gizi. Yang jelas, berdasarkan bahan kering, kandungan protein tempe tak kurang dari 45% atau sekitar 19% dari bahan basah. Sekitar 56% protein tersebut dapat dimanfaatkan tubuh manusia. Lantaran kandungan protein yang tinggi inilah tempe dapat dijadikan sebagai bahan pangan pengganti daging.
Ketika tempe disajikan, nilai gizinya sangat tergantung pada cara pengolahan sebelum tempe dikonsumsi. Penelitian yang dilakukan Ir. Mariyati Sukarni, M.Sc., Ir. Amini Nasoetion, dan Ir. Sri Rihati Kusno pada 1979 menunjukkan, pengolahan yang berbeda menghasilkan kandungan gizi yang berbeda pula. Ketika tempe dimasak menjadi sayur bening tempe, kadar proteinnya 28 g (dalam 100 g bahan kering), lemak 6 g, dan karbohidrat 19,1 g. Pepes tempe kadar proteinnya 23 g, lemak 5 g, dan karbohidrat 15,9 g. Sebaliknya bila dibuat menjadi tempe bacem kering, kandungan proteinnya turun drastis menjadi 5 g, lemak 40,7 g, dan karbohidratnya 7 g.
Sayangnya, data kandungan gizi tempe goreng tidak ditemukan, meskipun sangat umum tempe diolah hanya dengan menggorengnya. Yang ada hanyalah cara menggoreng yang baik. Tempe ternyata cuma perlu waktu penggorengan selama 3 � 4 menit agar siap dikonsumsi. Karena itu ada peneliti yang menggolongkan tempe sebagai pangan cepat masak. (I Gede Agung Yudana)
http://www.indomedia.com/Intisari/2000/april/tempe4.htm , 03 mei 2008, 12.37 wib
Pemberian makanan tambahan dengan tempe pada anak Balita penderita Kurang Energi Protein (KEP) telah dibuktikan menunjukkan kenaikan berat badan lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang diberi makanan tambahan dengan kedelai. Begitu juga penderita gizi buruk dan diare kronik pada bayi dan Balita yang diberi makanan formula tempe mengalami perbaikan gizi, kenaikan berat badan, kadar haemoglobin, status imunitas dan penyembuhan diare dalam waktu singkat.