BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi yang berkembang pesat dalam dua dasawarsa terakhir ini, terjadi dalam berbagai bidang, baik ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Hal ini mempengaruhi cara berpikir korporasi dalam memandang strategi bisnisnya. Korporasi tidak lagi memandang bisnisnya terpisah dari masyarakat, namun merupakan salah satu komunitas dari beberapa komunitas lainnya dari masyarakat. Dalam pandangan ini, korporasi sebagai bagian dari masyarakat senantiasa akan berpengaruh secara resiprokal. Apapun yang terjadi dengan masyarakat akan mempengaruhi korporasi, begitupun sebaliknya.
Namun pemikiran dan pemahaman ini disikapi dan diimplementasikan secara beragam oleh korporasi. Keberagaman itu tidak hanya karena jenisnya, seperti ekstraktif, manufaktur dan jasa publik, akan tetapi tergantung juga pada bentuk lingkungannnya baik alam, masyarakat maupun kepentingan stakeholder yang ada. Pemikiran dan pemahaman ini, biasa disebut corporate social responsibility (tanggungjawab sosial korporasi).
Di Indonesia, hubungan korporasi dengan masyarakat lokal seringkali tidak harmonis. Korporasi sebagai komunitas baru, tidak memahami posisinya sebagai 'pendatang'. Sedangkan masyarakat merasa tidak diperlakukan secara 'fair' sebagai stakeholder yang paling rentan terkena dampak beroperasinya korporasi. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi suatu perbedaan yang berujung pada konflik diantara keduanya. Masyarakat memandang, korporasi sebagai pihak yang mendatangkan 'kerugian', karena apapun yang terjadi, seperti hilangnya sumber daya alam dan pencemaran lingkungan akan menimbulkan banyak masalah pada masyarakat lokal. Sebaliknya, masyarakat lokal juga dipandang sebagai pihak yang 'memeras' korporasi karena besarnya sumber ekonomi di dalamnya, seperti memaksa korporasi untuk menyerap tenaga kerja lokal dan menerima pasokan material (yang mungkin tidak memenuhi kriteria korporasi) dari masyarakat lokal.
Dilihat dari karakteristik sebab, beberapa kasus konflik yang terjadi antara korporasi (pertambangan dan minyak) dan komunitas, diantaranya adalah:
Pertama, sebab yang berdimensi ekonomi dapat dikategorikan sebagai sebab utama terjadinya konflik dan berperan sangat kuat. Selain itu, dimensi ini sangat rentan timbul, karena adanya kemiskinan dan ketimpangan pada wilayah operasi tambang yang umumnya pada wilayah terpencil. Implikasi yang berkait dengan dimensi ini tentunya kesejahteraan, equality dalam peluang ekonomi, dan akan lebih kuat lagi jika disertai dengan equity bagi komunitas lokal.
Kedua, sebab yang berdimensi sosial-budaya, berfungsi sebagai causa sekaligus akselerator yang mempercepat atau memperkuat terjadinya konflik. Kerentanan munculnya sebab dalam dimensi ini tidak terlalu tinggi, namun biasanya ada dalam setiap industri tambang dan minyak. Implikasi yang perlu diperhatikan adalah menghilangkan segregasi melalui pembauran, penataan pemukiman, penyediaan fasilitas dan kegiatan publik yang menyatukan batasan sosial berkait dengan korporasi.
Ketiga, sebab yang berdimensi politik dapat berfungsi sebagai causa berkait dengan stakeholder yang tidak terdistribusi secara proporsional, dan sekaligus sebagai medium konflik karena dimensi ini menyediakan teknologi dalam praktek konflik. Kerentanan dimensi ini sangat tinggi pada periode transisi politik, terutama saat legitimasi otoritas publik (pemerintah) melemah terhadap komunitas. Implikasi yang perlu diperhatikan adalah perlunya pemahaman peta sosial komunitas serta manajemen relasi terhadap stakeholder secara proporsional.
Melihat sebab terjadinya konflik antara korporasi dengan masyarakat (komunitas) lokal dan bentuk penanganan di atas, nampak bahwa penanganan konflik yang dilakukan korporasi sekedar untuk merespon tuntutan yang terjadi, tidak melihat masalah secara integratif dan komprehensif. Padahal konflik yang terjadi merupakan masalah kompleks yang berkait antara satu dengan lainnya. Meskipun faktor yang dominan adalah ekonomi, namun hal tersebut berkait pula dengan politik dan budaya lokal. Oleh karena itu, membutuhkan penanganan yang juga komprehensif, yang dapat menjawab permasalahan yang mendasar, yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal.
Selain itu, beberapa kasus di atas juga mengindikasikan bahwa tanggungjawab sosial korporasi terhadap masyarakat lokal masih rendah, penanganan yang dilakukan masih sebatas untuk meredam konflik, sesaat dan 'dangkal'. Sehingga kalaupun program itu diterapkan atau dilakukan, hanyalah untuk kepentingan korporasi semata. Mereka tidak berpikir untuk lebih jauh, misalnya menyelesaikan masalah yang mendasar dari masyarakat lokal dengan merancang, merencanakan dan melaksanakan program yang berkelanjutan, sehingga masyarakat lokal dapat merasakan pengaruh positif dan manfaat dari kehadiran korporasi, terutama berkait dengan peningkatan kualitas hidupnya.
Rendahnya kesadaran ini, ternyata tidak saja pada industri pertambangan dan minyak, namun juga pada jenis industri lainnya, baik manufaktur maupun jasa publik. Seperti terungkap dalam Penelitian Chambers (2003:91) seperti dikutip Tanaya, yang menunjukkan bahwa hanya 24% dari 50 korporasi teratas di Indonesia yang memiliki laporan atas program CSR dalam website mereka, sekaligus yang terendah bila dibandingkan dengan enam negara lainnya di Asia. Selanjutnya dari 24% tersebut hanya 18% yang memberikan laporan secara ekstensif, dan 72% melaporkan secara minimal (1-2 halaman). Hal ini menunjukkan masih sedikitnya korporasi yang menjalankan praktik ini dengan serius, termasuk pelaporannya kepada publik.
Padahal tanggungjawab ini bukan tanpa dampak yang menguntungkan, karena ketika korporasi memperlihatkan tanggungjawab sosialnya, pada hakikatnya mereka sedang mengamankan dan membentuk citra di mata masyarakat, baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional. Selain itu, program ini juga dapat mendorong pada keuntungan bisnis dan meningkatkan kinerja penjualan produk. Seperti diungkapkan Business and Society, bahwa apabila korporasi dapat melaksanakan program CSR, maka dampak bisnis yang jelas akan menunjukkan manfaat sebagai berikut:
- Reputasi-yang dipengaruhi oleh biaya dan keuntungan dari barang dan jasa korporasi, bagaimana memperlakukan karyawan dan lingkungannya, catatannya mengenai HAM, investasinya dalam masyarakat lokal, dan bahkan bukti pembayarannya.
- Daya saing-keuntungan dari hubungan baik antara pelanggan dan penyalur, keseimbangan dalam keaneka-ragaman pekerja, seperti halnya efisiensi manajemen mengenai isu lingkungan;
- Manajemen risiko-pengendalian risiko yang lebih baik-keuangan, peraturan, lingkungan, atau sikap konsumen.
Sejalan dengan itu, Omar Al Qurashi, Communications Manager Shell, mengungkapkan, "Penelitian membuktikan bahwa 94% dari eksekutif korporasi yakin, bahwa pengembangan CSR dapat mengantarkan atau mendorong pada keuntungan bisnis yang nyata, sementara satu dari tiga eksekutif internasional berpikir bahwa inisiatif tanggungjawab social meningkatkan kinerja penjualan. Selanjutnya, 71% dari CEO berpendapat, bahwa mereka bersedia menyisihkan keuntungan jangka pendek untuk nilai saham jangka panjang ketika mengimplementasikan program-program (CSR) yang berkelanjutan".
Oleh karena itu, selain mencari keuntungan finansial sebagaimana 'naluri' dan 'niat awalnya', penting bagi korporasi untuk menjalankan komitmen dan tanggungjawab sosialnya. Sebagaimana diungkapkan Clement K. Sankat (2002) yang dikutip Budimanta (2004), bahwa "tanggung jawab sosial korporasi merupakan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara luas".
Program tanggungjawab sosial korporasi ini, tidak hanya dilakukan oleh korporasi multinasional seperti, Freeport, ExxonMobile, Unocal, Newmont Pasific, dan Nike, namun juga dilakukan oleh seluruh korporasi milik negara atau BUMN, diantaranya PT. Pertamina, PT. Telkom dan PT. Krakatau Steel, PT. Angkasa Pura II, yang diimplementasikan dengan sebutan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil (PK) dan Program Bina Lingkungan (BL) disingkat PKBL.
Implementasi dari Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan ini menjadi menarik dan strategis disebabkan beberapa hal. Pertama, statusnya sebagai korporasi milik negara, terdapat "kewajiban" melalui kebijakan pemerintah-Salinan Peraturan Meneg BUMN Nomor PER-05/MBU/2007, tanggal 27 April 2007, yang menggantikan aturan yang sebelumnya ada, yaitu Keputusan Menteri BUMN Nomor : Kep-236/MBU//2003, tanggal 17 Juni 2003, yang menyatakan bahwa, setiap korporasi di lingkungan BUMN harus menjalankan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Kedua, adanya petunjuk pelaksanaan yang bersifat 'generik' sesuai dengan Surat Edaran Nomor: SE-433/MBU/2003, tanggal 16 September 2003 mengenai petunjuk Pelaksanaan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, terutama Bab I, Pasal 1, Ayat 6 dan 7, menyatakan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Selanjutnya, hal tersebut ditegaskan dalam Visi dan Misi Kementerian Negara BUMN, "Meningkatkan peran BUMN dalam kepedulian terhadap lingkungan (community development) dan pembinaan koperasi, usaha kecil dan menengah dalam program kemitraan". Dengan demikian, mengacu pada visi dan misi di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan program community development di kalangan BUMN lebih ditekankan atau mengarah kepada Program Bina Lingkungan, sementara untuk pembinaan koperasi, usaha kecil dan menengah dikategorikan dalam Program Kemitraan dengan Usaha Kecil, sebagai suatu bentuk implementasi dari tanggungjawab sosial korporasi milik negara. Meskipun demikian, kedua hal ini bisa juga diterjemahkan sebagai community development dengan penekanan yang berbeda, antara Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dengan Program Bina Lingkungan.
Sebagai salah satu pilar penggerak dan penyeimbang perekonomian nasional, sekaligus 'representatif’ pemerintah, BUMN diharapkan dapat melakukan peran dan tanggungjawab sosialnya secara optimal. Dengan peraturannya yang 'generik', membuka kemungkinan setiap BUMN melakukannya secara berbeda. Dengan kata lain, dimungkinkan korporasi di lingkungan BUMN mempunyai kebebasan dalam mengembangkan program sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Kemungkinan lain adalah potensi rata-rata alokasi finansial korporasi-korporasi milik negara (BUMN) lebih besar dibanding korporasi swasta nasional lainnya. Seperti yang diungkapkan Saidi dari PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Centre) dalam penelitiannya tentang sumbangan dari berbagai korporasi menunjukkan, bahwa rata-rata sumbangan per tahun korporasi multinasional sebesar Rp. 236 juta, sedang korporasi swasta nasional hanya Rp. 45 juta dan korporasi lokal Rp. 16 juta. Hal ini berbeda jauh bila dibandingan dengan temuan Nursahid dalam tesisnya, seperti tertuang pada tabel 2 di bawah ini.
** tabel sengaja tidak ditampilkan **
1.2 Perumusan Masalah
Dengan adanya Program Bina Lingkungan diharapkan konflik yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal dapat diatasi, atau setidaknya dieliminir. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan konflik masih saja terjadi, bahan masih dengan issu dan tuntutan yang relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa implementasi Program Bina Lingkungan tidak dilakukan dengan mengikuti aspek-aspek pengembangan masyarakat sebagaimana mestinya. Sebagian korporasi masih menganggap bahwa Program Bina Lingkungan adalah program "charity" atau pemberian gratis korporasi kepada masyarakat lokal, dan itu terjadi hanya pada waktu-waktu tertentu.
Mencermati situasi dan kondisi hubungan yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal tersebut, maka potensi permasalahan yang timbul dan berujung pada konflik bukan tidak mungkin akan terus berlanjut 'tiada ujung'. Hal ini akan mempengaruhi produktivitas korporasi sebagai entitas bisnis, sekaligus mendorong timbulnya komunitas bermental 'pemeras' dengan cara mencari kesalahan korporasi dalam melakukan usahanya, terutama berkait dengan sumber daya lokal.
Bagaimana dengan Badan Usaha Milik Negara? Dengan diterbitkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-236/MBU/2003, yang kemudian direvisi dengan dikeluarkannya Salinan Peraturan Meneg BUMN Nomor PER-05/MBU/2007, tanggal 27 April 2007. Kedua aturan tersebut menyatakan, bahwa setiap korporasi di lingkungan BUMN harus menjalankan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, ditambah dengan adanya Surat Edaran Nomor : SE-433/MBU/2003, mengenai petunjuk pelaksanaannya. Hal ini memperlihatkan, bahwa pemerintah memiliki goodwill melalui korporasi di lingkungan BUMN dalam menyikapi permasalahan sosial yang terjadi selama ini.
Dengan adanya peraturan tersebut, yang menyatakan 'kewajiban' dan bersifat 'generik', mengisyaratkan adanya 'kelonggaran' atau 'kebebasan' dalam mengimplementasikan peraturan. Dengan kata lain, setiap korporasi milik negara dapat menjalankan aturan sebagai sebuah kewajiban, namun korporasi juga diberikan kebebasan secara teknis dalam mengimplementasikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring dan evaluasi, sesuai situasi dan kondisi masyarakat lokal dimana korporasi tersebut beroperasi. Selain itu, dengan adanya anggaran yang tidak sedikit, akan memberikan kesempatan yang besar untuk dilakukannya Program Bina Lingkungan secara optimal. Dengan demikian, program yang diterapkan sekaligus biaya yang dikeluarkan, mempunyai manfaat dan dampak jangka panjang bagi kualitas kehidupan masyarakat, terutama masyarakat lokal.
Kenyataan tersebut memberikan inspirasi kepada peneliti untuk melakukan studi evaluasi mengenai praktik Program Bina Lingkungan yang dilakukan PT. X, salah satu korporasi milik negara (BUMN) yang bergerak pada penyediaan pupuk tingkat nasional. Selanjutnya, penelitian ini ditekankan untuk menjawab pertanyaan utama yaitu : Bagaimana upaya korporasi dalam mempraktikkan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan kepada masyarakat lokal sebagai bagian dari tanggungjawab sosial korporasi?
Selanjutnya, pertanyaan utama penelitian ini diturunkan dalam beberapa pertanyaan khusus yang lebih operasional, yaitu:
1. Bagaimana implementasi Program Bina Lingkungan di PT. X?
2. Bagaimana efektivitas dan keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X?
4. Bagaimana upaya untuk menjamin keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis upaya PT. X dalam mempraktikkan Program Bina Lingkungan, terutama pada masyarakat lokal secara berkelanjutan sebagai bagian dari tanggungjawab sosial korporasi, dengan menggunakan metode studi evaluasi.
Secara khusus, penelitian ini menjawab rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, yakni :
1. Mengetahui implementasi Program Bina Lingkungan di PT. X.
2. Mengetahui efektivitas dan keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X.
3. Memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dampak dan keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X.
4. Dengan gambaran yang didapat, terutama dalam upaya korporasi dalam mempraktikkan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan, maka peneliti akan merekomendasikan sebagai bentuk kontribusi mengenai strategi pengembangan Program Bina Lingkungan di Indonesia, khususnya di PT. X.
1.4 Signifikansi Penelitian
Secara ilmiah-akademik, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan khususnya mengenai Program Bina Lingkungan sebagai bagian dari pelaksanaan program corporate social responsibility terhadap masyarakat lokal. Seperti yang tercatat dalam Creswell (1994) menekankan elaborasi signifikansi studi dapat ditujukan untuk: (1) kaum peneliti, (2) praktisi atau pelaku, dan (3) pembuat kebijakan.
1.4.1 Pemanfaat Utama
Penelitian mengenai Program Bina Lingkungan di kalangan BUMN belum banyak diteliti, terutama berkait dengan program yang mengarah pada sustainability atau berkelanjutan secara spesifik. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi dalam mengembangkan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan di PT. X sesuai dengan karakteristik masyarakatnya.
Selain itu, penelitian ini penting dipahami oleh pemerintah pusat dalam mengembangkan kebijakan berkait dengan korporasi terutama di kalangan BUMN, seperti PT. X ini. Begitupun dengan pemerintah lokal, agar kebijakan terutama berkait dengan korporasi dan pengembangan potensi masyarakat lokal, dapat lebih terarah, tepat sasaran dan berkelanjutan.
1.4.2 Pemanfaat Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pendorong sekaligus inspirator bagi LSM, baik lokal maupun nasional termasuk lembaga donor agar dalam mengembangkan program community development, dapat mempertimbangkan kearifan budaya lokal, dalam arti sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi serta kebiasaan masyarakat lokal. Dengan demikian, program yang dikembangkan tidak hanya sekedar memberikan bantuan sesuai kemauan korporasi, namun lebih dari itu, dapat menjawab permasalahan sekaligus kebutuhan masyarakat lokal sehingga program yang diterapkan dapat bermanfaat dan berkelanjutan (sustainability).
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil penelitian ini akan disajikan dalam 5 (lima) bab, dengan susunan sebagai berikut:
Bab pertama, berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kajian teoritik, operasionalisasi konsep dari berbagai teori dan pendapat ahli, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, mengenai gambaran umum subjek penelitian yang mencakup lokasi peneltian, baik korporasi maupun masyarakat lokal, termasuk profil masing-masing institusi tersebut dari sejarah, potensi karakteristik hingga struktur organisasi.
Bab ketiga, menggambarkan pelaksanaan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk corporate sosial responsibilty yang dipraktikkan kepada masyarakat lokal.
Bab keempat, merupakan pemaparan dan analisis hasil penelitian. Pada bagian ini akan dibahas mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan politik berkait dengan praktik Program Bina Lingkungan yang dilaksanakan korporasi. Pembahasan diawali dengan proses identifikasi masalah dan kondisi awal dari masyarakat lokal, selanjutnya secara beruntun akan diikuti, sesuai dengan ajian yang ternasuk dalam inputs, output, outcome dan impact. Hal ini secara sistematis menjawab bagaimana efektivitas dan keberlanjutan program bagi stakeholder khususnya masyarakat lokal, seperti yang dipaparkan pada kondisi awal.
Bab kelima, berisi kesimpulan penelitian, dan rekomendasi penelitian, yang didalamnya berisi model pengembangan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan dilihat dari aspek community development, sesuai dengan situasi kondisi korporasi. Rekomendasi ini disusun dengan mengacu pada hasil temuan yang dikaitkan dengan berbagai teori yang digunakan dalam penelitian ini.