BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah dicapai atas berkat rahmat dan ridho dari Tuhan Yang Maha Esa dan melalui perjuangan seluruh rakyat Indonesia harus diisi dengan usaha-usaha pembangunan disegala bidang baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan di bidang hukum. Pembangunan nasional disini tidak hanya mengejar kebutuhan lahiriah ataupun kepuasan batiniah saja, tetapi juga diperlukan keseimbangan dan keselarasan antar keduanya sehingga tercapai masyarakat adil dan makmur seperti yang dicita-citakan bangsa Indonesia.
Pembangunan di bidang hukum sendiri tak dapat dipisahkan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam pelaksanaannya hukum berfungsi sebagai social control dan social engineering. Sebagai sarana social control, fungsi hukum adalah untuk menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur. Jadi di sini hukum berfungsi sebagai sarana pengadilan tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum menjaga jangan sampai suatu tingkah laku menganggu ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan bersama. Sebagai sarana social engineering, fungsi hukum dalam suasana dimana hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat guna mencapai social planning yang dicita-citakan dalam kehidupan bersama. Social planning tersebut telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Harun M. Husein, 1994 : 1).
Dalam membicarakan pembangunan hukum, termasuk di dalamnya adalah penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana (Integrated Criminal Justice System). Untuk itu perlu semakin dimantapkan peran dan kedudukan penegakan hukum supaya terwujud peningkatan kemampuan dan kewibawaannya. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan pencegahan maupun usaha pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum.
Peningkatan kemampuan penegak hukum ini penting karena kebanyakan para penegak hukum Indonesia sudah dibiasakan dididik sebagai calon penerap hukum bukan sebagai calon ahli hukum yang dapat memperbaruhi hukum. Seringkali dijumpai berbagai produk hukum seperti undang-undang yang gagal dalam menjerat pelaku kejahatan karena sifatnya yang memiliki celah dan ini merupakan tantangan bagi penegak hukum untuk terus meningkatkan moral dan kredibilitasnya, mengabdi pada hukum sehingga keadilan dapat terwujud.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala hak warga yang sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menutut Undang-Undang Dasar". Oleh karena itu, peranan setiap warga negara sangat berpengaruh dan diperlukan dalam penegakan hukum.
Berkaitan dengan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 melalui beberapa pasal yang mengatur tentang HAM, salah satunya adalah Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Dalam pasal ini terkandung Azas Persamaan Kedudukan di Dalam Hukum. Pasal 27 ayat (1) ini diimplementasikan dalam proses peradilan pidana sebagai Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) diatur bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan atau di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Tujuan dari azas ini adalah untuk memberi batasan seseorang baik tersangka atau terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Tindakan sewenang-wenang ini berupa upaya paksa dari penegak hukum yang dalam hal ini memungkinkan melanggar HAM tersangka atau terdakwa, dilakukan dengan kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture).
Pembangunan di bidang hukum di Indonesia selalu mendapat perhatian yang cukup serius mengingat bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) dan bukan merupakan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Maka sebagai konsekuensi logis dari ketentuan yang dimaksud, akan terlihat bahwa asas kesadaran hukum merupakan salah satu asas yang perlu diprioritaskan dalam pembangunan nasional baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Tertib hukum adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan hukum yang sesuai dengan falsafah negara Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945. Hukum dengan tegas telah mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan para warga masyarakat. Dengan demikian hukum mempunyai sifat memaksa dan mengikat, walaupun unsur paksaan bukanlah merupakan unsur yang terpenting dalam hukum, sebab tidak semua perbuatan atau larangan dapat dipaksakan. Dalam hal ini, memaksakan diartikan sebagai suatu perintah yang ada sanksinya apabila tidak ditaati, dan sanksi tersebut berwujud sebagai suatu penderitaan yang dapat memberikan penjeraan bagi si pelanggar hukum.
Asas kesadaran hukum berarti menyadarkan setiap warga negara untuk selalu taat pada aturan hukum, di samping itu diwajibkan pula bagi negara beserta aparatnya untuk selalu menegakkan dan menjamin jalannya maupun proses kepastian hukum. Segala perbuatan yang dilakukan baik oleh negara, pemerintah, maupun masyarakat harus berpedoman pada peraturan yang mengaturnya atau sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Peranan aparat pemerintah terutama instansi yang menangani langsung tentang masalah hukum perlu ditingkatkan pola kerjanya secara terus menerus, sehingga akan mendapatkan hasil guna dengan tingkat yang maksimal. Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, pembangunan di bidang hukum pada dasarnya mewujudkan keadilan bagi masyarakat yang mencakup segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Memelihara keselarasan hidup di dalam masyarakat memerlukan berbagai macam aturan sebagai pedoman hubungan kepentingan perorangan maupun kepentingan dalam masyarakat. Akan tetapi tidak sedikit hubungan kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang berhubungan atau dalam lingkup hukum pidana. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum acara pidana yang menjadi saluran untuk menyelesaikan kepentingan apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana (Bambang Poernomo, 1988: 1-3). Negara Indonesia, dalam menjalankan kehidupan bernegara, memerlukan adanya hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, sehingga segala bentuk kejahatan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan adanya hukum dapat menghindarkan pelanggaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun penegak hukum itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang dapat dipergunakan oleh negara Indonesia dalam mengatur tatanan kehidupan dalam masyarakat.
Kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Negara Indonesia salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ruang lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981), terdapat dalam Pasal 2 KUHAP, yang berbunyi : "Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan".
Hukum Acara Pidana merupakan hukum yang memuat peraturan-peraturan untuk melaksanakan hukum pidana, karena hukum acara pidana mempunyai fungsi sebagai alat untuk menyelesaikan segala kepentingan yang berhubungan dengan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan.
Seberat apapun pelanggaran yang dilakukannya, seorang terdakwa adalah seorang manusia yang tetap harus dihargai hak-haknya, sehingga sudah seharusnya ia dilindungi dari perlakuan sewenang-wenang yang mengatasnamakan penegakan hukum. Aparat penegak hukum tidak diperbolehkan melakukan pelanggaran hak secara sewenang-wenang. Aparat penegak hukum harus menjalankan penegakan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tetap menghargai hak asasi tersangka atau terdakwa. Aparat penegak hukum adalah salah satu organ Negara yang juga mempunyai kewajiban untuk melindungi hak warga negara.
Hukum yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaaan mencerminkan norma-norma yang menghormati martabat manusia dan mengakui hak asasi manusia. Norma-norma yang mengandung nilai luhur menjunjung tinggi martabat manusia dan menjadi hak asasi manusia berkembang terus sesuai dengan tuntunan hati nurani manusia yang terhimpun dalam ikatan perkumpulan masyarakat yang bertindak berdasarkan kepentingan sosial bersifat dualistis (Bambang Purnomo, 1988: 61).
Negara juga telah menjamin hal tersebut dalam undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 27 dinyatakan bahwa warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Jaminan perlindungan dan pemerintahan ini dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan di dalam KUHAP, khususnya Pasal 54 sampai Pasal 57 yang mengatur tentang Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa untuk mendapatkan Penasehat Hukum. Bantuan hukum yang diberikan pada terdakwa atau tersangka pada hakekatnya adalah membela peraturan hukum dan juga perlindungan yang diberikan agar terdakwa atau tersangka terlindungi haknya. Bantuan hukum bagi terdakwa atau tersangka bukanlah semata-mata membela kepentingan terdakwa atau tersangka untuk bebas dari segala tuntutan.
Tujuan pembelaan dalam perkara pidana pada hakekatnya adalah membela peraturan hukum, jangan sampai peraturan hukum tersebut salah atau tidak adil diterapkan dalam suatu perkara. Dengan demikian tujuan pembelaan dalam perkara pidana di setiap tingkatan proses beracara mengandung makna sebagai pemberian bantuan hukum kepada aparat pelaksana atau penegak hukum dalam membuat atau memutuskan suatu keputusan yang adil dan benar menurut peraturan hukum yang berlaku. Jadi, tugas pembela bukan membabi buta mati-matian membela kesalahan tersangka atau terdakwa, akan tetapi adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dalam masyarakat (Riduan Syahrani, 1983:26).
Peradilan In Absentia adalah contoh praktek hukum yang potensial melahirkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Meski bukan pelanggaran atas Non Derogable Right, praktek In Absentia akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Hak-hak tersangka atau terdakwa menjadi terhempas dan hilang. Dan semuanya itu merupakan hilangnya indepedensi penegak hukum dan adanya kelompok kepentingan yang mengintervensi kekuasaan yudikatif. Di sinilah muncul dilema untuk memilih praktek In Absentia yang menghilangkan hak-hak tersangka atau terdakwa, atau untuk melindungi hak-hak asasi tersangka atau terdakwa.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul
"EKSISTENSI PERADILAN IN ABSENTIA DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN HAK TERDAKWA UNTUK MELAKUKAN PEMBELAAN".
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia ?
2. Bagaimanakah relevansi peradilan In Absentia dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan hak terdakwa untuk melakukan pembelaan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a) Untuk mengetahui eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia.
b) Memaparkan mengenai peradilan In Absentia dalam proses pemeriksaan perkara pidana berkaitan dengan hak-hak terdakwa untuk melakukan pembelaan.
2. Tujuan Subjektif
a) Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum sebagai persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
b) Memperluas pengetahuan dan pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek, terutama di bidang hukum acara pidana dan hukum pidana berkaitan dengan eksistensi dan pelaksanaan peradilan In Absentia.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a) Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
b) Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
c) Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum X serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a) Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Pendekatan
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ada beberapa jenis pendekatan, yaitu pendekatan Undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan Undang-undang (statute approach).
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1982:10). Di dalam penelitian deskriptif, kegiatan tidak hanya terbatas pada pengumpulan data dan penggunannya, tetapi yang lebih penting adalah analisis dan interprestasi atas data yang telah didapat agar diketahui maksudnya.
Tujuan penulis menggunakan sifat deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran secara sistematis hal-hal faktual yang terjadi secara akurat mengenai eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia
4. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas. Data Sekunder dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan yang mengikat, seperti peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:146). Dalam penelitian hukum ini, bahan hukum primernya terdiri dari :
1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
4) Undang-Undang No 1 Tahun 2002 tentang Terorisme
5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
b. Bahan Hukum Sekunder yang utama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum selain kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang terkait dengan topik penelitian hukum ini. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam petunjuk ke arah manapeneliti melangkah. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:155).
c. Bahan Hukum Tersier atau bahan-bahan hukum non hukum atau penunjang yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya : bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini dan Kamus Hukum.
5. Sumber Hukum
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapat diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau catatan-catatan resmi, yaitu dokumen peraturan perundang-undangan serta peraturan pelaksanaan yang memuat tentang pengaturan peradilan In Absentia.
6. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif, maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan "content analysis" (Soerjono Soekanto, 1986: 21). Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah content analysis atau kajian isi.
Pengertian kajian isi menurut Weber adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220). Pengertian kajian isi menurut Krippendroff adalah teknik penelitian yang diamanfaatkan untuk menarik kesimpulan yang replikatif dan sahih dari data atas dasar konteksnya (Krippendroff dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220). Ciri-ciri content analysis atau kajian isi menurut Guba dan Lincoln yaitu proses mengikuti aturan, proses sistematis, kajian isi merupakan proses yang diarahkan untuk menggeneralisasikan, kajian isi mempersoalkan isi yang termanifestasikan, kajian isi menekankan analisis secara kuantitatif, namun hal itu dapat pula dilakukan bersama analisis kualitatif (Guba dan Lincoln dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatau uraian mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan terperinci disusun dalam pembaban, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa yang ditulis. Tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama lain yang tidak dapat terpisahkan.
Dalam kerangka ini, penulis akan memberikan uraian tentang hal-hal pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti permasalahan yang akan diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian, manfaat penelitian merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode penelitian berupa jenis penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini yaitu : mengenai tinjauan umum tentang hukum acara pidana, tinjauan umum peradilan In Absentia, dan tinjauan umum tentang hak terdakwa melakukan pembelaan
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan mengenai eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan kesesuaian peradilan In Absentia dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan perlindungan hak-hak terdakwa untuk melakukan pembelaan
BAB IV: PENUTUP
Bab ini dikemukakan tentang simpulan dari hasil penelitian dan juga saran yang relevan dari peneliti.
DAFTAR PUSTAKA