MAKNA DENOTATIF, MAKNA KONOTATIF, DAN MAKNA AFEKTIF
1. MAKNA DENOTATIF
Makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna wajar ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya. Denotatif adalah suatu pengertian yang dikandung sebuah kata secara objektif. Sering juga makna denotatif disebut maka konseptual, makna denotasional atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain. Pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotasi ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran (Lyons, I, 1977:208). Dalam beberapa buku pelajaran, makna denotasi sering juga disebut makna dasar, makna asli, atau makna pusat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa makna denotasi adalah makna sebenarnya yang apa adanya sesuai dengan indera manusia. Kata yang mengandung makna denotatif mudah dipahami karena tidak mengandung makna yang rancu walaupun masih bersifat umum. Makna yang bersifat umum ini maksudnya adalah makna yang telah diketahui secara jelas oleh semua orang. Berikut ini beberapa contoh kata yang mengandung makna denotatif:
1. Dia adalah wanita cantik
Kata cantik ini diucapkan oleh seorang pria terhadap wanita yang berkulit putih, berhidung mancung, mempunyai mata yang indah dan berambut hitam legam.
2. Tami sedang tidur di dalam kamarnya.
Kata tidur ini mengandung makna denotatif bahwa Tami sedang beristirahat dengan memejamkan matanya (tidur).
Masih banyak contoh kata-kata lain yang mengandung makna denotatif selama kata itu tidak disertai dengan kata lain yang dapat membentuk makna yang berbeda seperti contoh kata wanita yang makna denotasinya adalah seorang perempuan dan bukan laki-laki. Namun bila kata wanita disertai dengan kata malam (wanita malam) maka akan menghasilkan makna lain yaitu wanita yang dikonotasikan sebagai wanita nakal.
2. MAKNA KONOTATIF
Zgusta (1971:38) berpendapat makna konotatif adalah makna semua komponen pada kata ditambah beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi menandai. Menurut Harimurti (1982:91) “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasrkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca)”.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi, tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif maka akan bernilai rasa yang positif; dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa negatif. Misalnya, burung garuda karena dijadikan lambang negara republik Indonesia maka menjadi bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa negatif seperti buaya yang dijadikan lambang kejahatan. Padahal binatang buaya itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka lambang yang tidak baik.
Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Misalnya kata babi, di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama islam, memiliki konotasi negatif karena binatang tersebut menurut hukum islam adalah haram dan najis. Sedangkan di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan islam seperti di pulau Bali atau pedalama Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif.
Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang berkonotasi netral, tetapi kini berkonotasi negatif.
3. MAKNA AFEKTIF
Makna afektif (Inggris: affective meaning, Belanda: afektif betekenis). Merupakan makna yng muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan kata atau kalimat. Oleh karena makna afektif berhubungan dengan reaksi pendengar atau pembaca dalam dimensi rasa, maka dengan sendirinya makna afektif berhubungan pula dengan gaya bahasa.
Dalam makna afektif terlihat adanya reaksi yang berhuungan dengan perasaan pendengar atau pembaca setelah mendengar atau membaca sesuatu. Kalau seseorang berkata “anjing,” dengan intonasi tinggi yang berarti sedang marah maka orang yang mendengarnya akan merasa tersinggung. Dengan kata lain, kata anjing memiliki makna yang berkaitan dengan nilai rasa yaitu kata anjing berhubungan dengan penghinaan.
Sebaliknya kalau ada orang berkata, “Mira gadis yang rajin dan pandai menari,“ pendengar akan mereaksi baik dengan mengatakan “Hebat sekali anak itu” kata rajin dan pandai mempunyai makna afektif yang berhubungan dengan kata sifat yang positif. Makna afektif terkadang bisa menimbulkan suatu rasa dalam benak para pendengar atau pembaca. Misalnya seseorang yang sedang membaca sebuah berita di koran tentang pembunuhan mutilasi seorang mahasiswa, contoh kalimatnya “ Rani seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta menjadi korban kekejaman para preman jalanan. Setelah tubuh Rani dimutilasi mayatnya dibuang ke sungai dan harta bendanya dirampas.” Setelah pembaca itu membacanya ada rasa kasihan, dalam benak pembaca akan timbul pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan rasa kasihannya terhadap korban dan rasa benci atas kekejaman pelaku mutilasi itu.
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran (Lyons, I, 1977:208). Dalam beberapa buku pelajaran, makna denotasi sering juga disebut makna dasar, makna asli, atau makna pusat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa makna denotasi adalah makna sebenarnya yang apa adanya sesuai dengan indera manusia. Kata yang mengandung makna denotatif mudah dipahami karena tidak mengandung makna yang rancu walaupun masih bersifat umum. Makna yang bersifat umum ini maksudnya adalah makna yang telah diketahui secara jelas oleh semua orang. Berikut ini beberapa contoh kata yang mengandung makna denotatif:
1. Dia adalah wanita cantik
Kata cantik ini diucapkan oleh seorang pria terhadap wanita yang berkulit putih, berhidung mancung, mempunyai mata yang indah dan berambut hitam legam.
2. Tami sedang tidur di dalam kamarnya.
Kata tidur ini mengandung makna denotatif bahwa Tami sedang beristirahat dengan memejamkan matanya (tidur).
Masih banyak contoh kata-kata lain yang mengandung makna denotatif selama kata itu tidak disertai dengan kata lain yang dapat membentuk makna yang berbeda seperti contoh kata wanita yang makna denotasinya adalah seorang perempuan dan bukan laki-laki. Namun bila kata wanita disertai dengan kata malam (wanita malam) maka akan menghasilkan makna lain yaitu wanita yang dikonotasikan sebagai wanita nakal.
2. MAKNA KONOTATIF
Zgusta (1971:38) berpendapat makna konotatif adalah makna semua komponen pada kata ditambah beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi menandai. Menurut Harimurti (1982:91) “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasrkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca)”.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi, tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif maka akan bernilai rasa yang positif; dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa negatif. Misalnya, burung garuda karena dijadikan lambang negara republik Indonesia maka menjadi bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa negatif seperti buaya yang dijadikan lambang kejahatan. Padahal binatang buaya itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka lambang yang tidak baik.
Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Misalnya kata babi, di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama islam, memiliki konotasi negatif karena binatang tersebut menurut hukum islam adalah haram dan najis. Sedangkan di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan islam seperti di pulau Bali atau pedalama Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif.
Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang berkonotasi netral, tetapi kini berkonotasi negatif.
3. MAKNA AFEKTIF
Makna afektif (Inggris: affective meaning, Belanda: afektif betekenis). Merupakan makna yng muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan kata atau kalimat. Oleh karena makna afektif berhubungan dengan reaksi pendengar atau pembaca dalam dimensi rasa, maka dengan sendirinya makna afektif berhubungan pula dengan gaya bahasa.
Dalam makna afektif terlihat adanya reaksi yang berhuungan dengan perasaan pendengar atau pembaca setelah mendengar atau membaca sesuatu. Kalau seseorang berkata “anjing,” dengan intonasi tinggi yang berarti sedang marah maka orang yang mendengarnya akan merasa tersinggung. Dengan kata lain, kata anjing memiliki makna yang berkaitan dengan nilai rasa yaitu kata anjing berhubungan dengan penghinaan.
Sebaliknya kalau ada orang berkata, “Mira gadis yang rajin dan pandai menari,“ pendengar akan mereaksi baik dengan mengatakan “Hebat sekali anak itu” kata rajin dan pandai mempunyai makna afektif yang berhubungan dengan kata sifat yang positif. Makna afektif terkadang bisa menimbulkan suatu rasa dalam benak para pendengar atau pembaca. Misalnya seseorang yang sedang membaca sebuah berita di koran tentang pembunuhan mutilasi seorang mahasiswa, contoh kalimatnya “ Rani seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta menjadi korban kekejaman para preman jalanan. Setelah tubuh Rani dimutilasi mayatnya dibuang ke sungai dan harta bendanya dirampas.” Setelah pembaca itu membacanya ada rasa kasihan, dalam benak pembaca akan timbul pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan rasa kasihannya terhadap korban dan rasa benci atas kekejaman pelaku mutilasi itu.