PROSPEK DAN PENGEMBANGAN OTEC
Ahli fisika Perancis Jaques Arsonval pada tahun 1881 sudah mengemukakan konsep konversi energi panas laut, atau KEPL (ocean thermal energy conversion, OTEC) sebagai salah satu penggunaan dari siklus Rankine. Salah seorang muridnya, yaitu Georges Claude, pada tahun 1930 telah membuat pusat listrik tenaga KEPL di Teluk Matanzas dekat Kuba. Pusat tenaga listrik ini dengan daya 22 KW hanya dapat bekerja selama dua minggu karena dihancurkan oleh sebuah angin topan sehingga pipa untuk masukan airnya rusak total. Proyek itu kemudian dihentikan. Pada tahun 1950an, perusahaan Perancis yakni Societe dâ Energie des Mers melanjutkan usaha itu dengan merancang sebuah pusat tenaga listrik di pantai dekat Abidjan, ibukota Pantai Gading (Ivory Coast). Pusat ini tidak jadi dibangun karena harga tenaga listrik yang saat itu rendah sekali dan nampaknya energi nuklirlah yang merupakan jawaban bagi masalah energi murah.
Kemudian yang memberikan suatu dorongan kuat kepada perkembangan KEPL adalah kemelut energi yang terjadi pada tahun 1973, sewaktu terdapat embargo minyak yang terjadi di Timur Tengah. Dalam sebuah tulisan majalah ilmiah Physics Today (tahun 1973), ahli fisika Clarence Zenner menyoroti lagi prinsip KEPL dan sangat menganjurkan agar pengembangan KEPL dilanjutkan. Sejak itu banyak perusahaan besar mulai melanjutkan proyek-proyek KEPL. Di Amerika Serikat misalnya, perusahaan Lockheed, Westinghouse dan General Electric dengan giat melakukan pengembangan prinsip KEPL. Ada pula perusahaan-perusahaan yang mengembangkan bagian spesifik seperti penukar panas. Antara lain Union Carbide, Foster Wheeler, Rockwell dan Alva-Laval. Juga lembaga-lembaga penelitian seperti Batelle dan MITRE memberikan dukungan besar pada pengembangan KEPL. Pusat energi listrik KEPL terapung pertama di dunia dengan daya sebesar 50 KW beroperasi di lepas pantai kepulauan Hawaii pada tahun-tahun 1980an.
Proyek ini merupakan inisiatif perusahaan Lockheed bekerjasama dengan negara bagian Hawaii. Dari Eropa dapat disebut perusahaan-perusahaan Alva-Laval (Swedia), Compagnie Francaise des Petroles-Groupe Total (Perancis, Johnson Group (Swedia), Kockums (Swedia), Micoperi (Italia), Pechiney Ugine Kuhlmann (Perancis) dan Tecnomare (Italia). Studi-studi di Eropa itu sejalan dengan perkiraan yang terdapat di Amerika Serikat bahwa pada jangka menengah atau jangka panjang prinsip KEPL memiliki prospek yang cukup baik. Karenanya direncanakan untuk membuat suatu proyek percobaan di Eropa untuk membangun sebuah pusat tenaga listrik KEPL dengan daya hingga 10 MW. Hal itu juga didukung oleh pemerintah Perancis melalui Centre National pour l’Exploitation des Oceans (CNEXO).
Terdapat masalah yang dihadapi pada pengembangan prinsip KEPL disebabkan rendemen perpindahan panas yang sangat rendah, karena memerlukan jumlah air baik yang hangat maupun yang dingin yang perlu dipindahkan. Untuk sebuah PLTKEPL dengan saya misalnya 100 MW, diperlukan kira-kira 450 m3/s, baik air hangat maupun air dingin yang harus dialirkan malalui pemindah panas. Jumlah-jumlah air yang besar itu mengakibatkan bahwa berbagai komponen memiliki ukuran-ukuran yang sangat besar pula.
Pemindah panas merupakan komponen yang sangat penting dan juga sangat mahal bagi sebuah PLT-PL, meskipun dengan sistem tertutup. Biayanya merupakan kira-kira 1/3 dari biaya keseluruhan pembangkit. Untuk pembangkit dengan daya 100 MW diperlukan untuk suatu luas penukaran panas antara 500.000 dan 1.500.000 m2 material yang digunakan untuk pemindah panas harus terdiri atas bahan penukar panas yang baik. Pada saat ini nampaknya bahwa aluminium, titan dan baja tahan karat merupakan material yang terbaik. Terjadinya pertumbuhan bebagai organisme pada permukaan pemindah panas merupakan gangguan yang serius terhadap berfungsinya dengan baik sebuah PLT-PL, yang akan dengan pesat menurunkan daya dan kemampuannya. Kecepatan pertumbuhan organisme itu tergantung dari material pemindah panas dan juga suhu air hangat.
Pipa air dingin merupakan komponen paling menonjol karena ukurannya yang gigantik. Bagi sebuat PLT-PL dengan daya 100 MW, pipa itu akan memiliki garis tengah kira-kira 500 - 600 meter atau lebih. Gaya-gaya hidrolik maupun mekanikal yang terjadi pada pipa air dingin itu sangat besar, terutama pada pipa dengan struktur yang kaku. Juga pengaruh arus dan ombak air laut merupakan masalah yang perlu diperhitungkan. Karenanya juga dicari konsep-konsep dengan pipa yang agak fleksibel.
OTEC di Kuba |
Pembuatan anjungan (platform) untuk memuat bangunan PLT-PL terapung dapat mempunyai beberapa konfigurasi. Untuk sebuah pusat tenaga listrik dengan daya 100 MW menurut pandangan terkini akan memerlukan suatu konstruksi yang memiliki daya apung sebesar 200.000 sampai 300.000 ton, setara dengan sebuah kapal tangki minyak yang besar. Pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah :
- Stabilitas dan gerakan-gerakan dari laut.
- Instalasi dan kemungkinan-kemungkinan penyambungan dari pipa air dingin
- Berbagai kemungkinan konstruksi
- Biaya yang diperlukan.
Agar anjungan terapung itu tetap berada pada tempatnya dan tidak berpindahpindah mengikuti arus air laut ataupun angin, juga merupakan masalah serius, lebihlebih kerena ukurannya yang serba besar. Salah satu pilihan adalah bahwa anjungan itu memiliki mesin penggerak sendiri sehingga dapat mengatur sendiri posisinya. Energi listrik yang dibangkitkan dengan sendirinya dialirkan ke daratan melalui sebuah kabel laut. Perlu ada pengaturan bahwa kabel laut itu tidak mengalami tarikan mekanikal bilamana anjungannya bergerak. Sebuah PLT-PL terapung kecil yang dinamakan proyek Mini-OTEC beroperasi di lepas pantai kepulauan Keahole Point, Hawaii, Amerika Serikat. Proyek itu merupakan inisiatif dari perusahaan Lockheed Missiles and Space Company serta Negara Bagian Hawaii. Tujuan proyek ini adalah memperlihatkan bahwa sebuah PLT-PL percobaan dengan daya 50 KW dan sistem siklus tertutup merupakan suatu sumber energi yang tidak mengganggu lingkungan. Mini-OTEC ini menggunakan pemindah panas berbahan titanium dan dibuat oleh perusahaan Alfa Laval dari Swedia. Pipa air dingin terbuat dari polietileen dan memiliki garis, tengah 0,71 meter dan panjang 900 meter. Bagian atas pipa dikaitkan pada sebuah ponton terapung. Pipa air dingin juga berfungsi sebagai jangkar untuk menahan ponton pada tempatnya.
Beroperasinya dengan baik sebuah PLT-PL percobaan dengan daya 100 KW di Pulau Nauru, kepulauan Pasifik, dibangun oleh TEPSCO (Tokyo Electric Power Services Company). Perusahaan tersebut merencanakan akan membangun sebuhah PLT-PL lagi yang tidak terapung, melainkan di tepi pantai, dengan daya yang lebih besar yaitu 10 MW. Pembangkit itu direncanakan juga untuk dibangun di Kepulauan Pasifik.
Selanjutnya dapat pula dikemukanan bahwa perusahaan Global Marine mendapat tugas dari Departemen Energi Amerika Serikat untuk mengubah tangker Chipachet menjadi suatu anjungan terapung percobaan bagi sebuah PLT-PL dengan daya 1 MW. Proyek ini dinamakan OTEC-1, dan antara lain akan menguji beberapa konsep pemindah panas pada kondisi lapangan dan terletak juga di lepas Pantai Hawaii. Pipa air dingin pada proyek ini terdiri atas gabungan tiga pipa polietileen (garis tengah masing-masing 1,2 meter) dan panjang 640 meter. Tiap pipa dilalui sebuah kabel baja yang pada ujung bawahnya dilengkapi dengan suatu beban yang berat agar pipa itu senantiasa berada dalam posisi yang vertikal. Kedalaman laut adalah kira-kira 1220 meter. Suatu rencana untuk membuat proyek PLT-PL Eropa dengan daya 10 MW (OTEC-10) menggunakan anjungan yang terbuat dari beton. Juga diguankan sistem siklus tertutup dengan amonia sebagai medium kerja. Pipa air dingin memiliki garis tengah 7 meter dan panjangnya 800 meter.
Konsep ini dikembangkan oleh Hollandse Betton Group (HBG) dari Belanda.Beberapa proyek percobaan lain dengan daya 10 MW juga dilakukan di Jepang dan Amerika Serikat. Dapat dikemukakan bahwa semua proyek percobaan menyimpulkan bahwa secara teknis diperoleh hasil-hasil yang cukup memuaskan namun secara ekonomi belum karena harganya masih terlampau tinggi untuk dapat dioperasikan secara komersial. Peningkatan efisiensi terutama dari penukar panas masih perlu dicapai untuk menurunkan ukuran-ukuran pembangkit dan dengan demikian juga menurunkan biayanya.
PROSPEK DI INDONESIA
Minyak merupakan sumber energi utama di Indonesia. Pemakaiannya terus meningkat baik untuk komoditas ekspor yang menghasilkan devisa maupun untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Sementara cadangannya terbatas sehingga pengelolaannya harus dilakukan seefisien mungkin. Karena itu, ketergantungan akan minyak bumi untuk jangka panjang tidak dapat dipertahankan lagi sehingga perlu ditingkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Energi baru dan terbarukan adalah energi yang pada umumnya sumber daya nonfosil yang dapat diperbarui atau bisa dikelola dengan baik, maka sumber dayanya tidak akan habis. Laut selain menjadi sumber pangan juga mengandung beraneka sumber daya energi. Kini para ahli menaruh perhatian terhadap laut sebagai upaya mencari jawaban terhadap tantangan kekurangan energi di waktu mendatang dan upaya menganekakan penggunaan sumber daya energi. Kesenjangan antara kebutuhan dan persediaan energi merupakan masalah yang perlu segera dicari pemecahannya.
Potensi OTEC dunia. Sebagian Besar di perairan Indonesia |
Apalagi mengingat perkiraan dan perhi- tungan para ahli pada tahun 2010-an produksi minyak akan menurun tajam dan bisa menja- di titik awal kesenjangan energi. Untuk lautan di wilayah Indonesia, potensi termal 2,5 x 1023 joule dengan efisiensi konversi energi panas laut sebesar tiga persen dapat menghasilkan daya sekitar 240.000 MW. Potensi energi panas laut yang baik terletak pada daerah antara 6- 9° lintang selatan dan 104-109° bujur timur. Di daerah tersebut pada jarak kurang dari 20 km dari pantai didapatkan suhu rata-rata permukaan laut di atas 28°C dan didapatkan perbedaan suhu permukaan dan kedalaman laut (1.000 m) sebesar 22,8°C. Sedangkan perbedaan suhu rata-rata tahunan permukaan dan kedalaman lautan (650 m) lebih tinggi dari 20°C. Dengan potensi sumber energi yang melimpah, konversi energi panas laut dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2, mendekati 70% luas keseluruhan wilayah Indonesia. Dengan luas wilayah mayoritas berupa lautan, wilayah Indonesia memiliki energi yang punya prospek bagus yakni energi arus laut. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai banyak pulau dan selat sehingga arus laut akibat interaksi Bumi-Bulan-Matahari mengalami percepatan saat melewati selat-selat tersebut. Selain itu, Indonesia adalah tempat pertemuan arus laut yang diakibatkan oleh konstanta pasang surut M2 yang dominan di Samudra Hindia dengan periode sekitar 12 jam dan konstanta pasang surut K1 yang dominan di Samudra Pasifik dengan periode lebih kurang 24 jam. M2 adalah konstanta pasang surut akibat gerak Bulan mengelilingi Bumi, sedangkan K1 adalah konstanta pasang surut yang diakibatkan oleh kecondongan orbit Bulan saat mengelilingi Bumi.
Di Indonesia, potensi energi samudra sangat besar karena Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km dan terdiri dari laut dalam dan laut dangkal. Biaya investasi belum bisa diketahui di Indonesia tetapi berdasarkan uji coba di beberapa negara industri maju adalah berkisar 9 sen/kWh hingga 15 sen/kWh.
Berdasarkan letak penempatan pompa kalor, konversi energi panas laut dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, konversi energi panas laut landasan darat, konversi energi panas laut terapung landasan permanen, dan konversi energi panas laut terapung kapal. Konversi energi panas laut landasan darat alat utamanya terletak di darat, hanya sebagian kecil peralatan yang menjorok ke laut. Kelebihan sistem ini adalah dayanya lebih stabil dan pemeliharaannya lebih mudah. Kekurangan sistem jenis ini membutuhkan keadaan pantai yang curam, agar tidak memerlukan pipa air dingin yang panjang.Untuk konversi energi panas laut terapung landasan permanen, diperlukan sistem penambat dan sistem transmisi bawah laut, sehingga permasalahan utamanya pada sistem penambat dan teknologi transmisi bawah laut yang mahal. Jenis ini masih dalam taraf penelitian dan pengembangan. Perkembangan teknologi konversi energi panas laut di Indonesia baru mencapai status penelitian, dengan jenis konversi energi panas laut landasan darat dan dengan kapasitas 100 kW, lokasi di Bali Utara.
Secara umum kendala pada teknologi konversi energi panas laut adalah efisiensi pemompaan yang masih rendah, korosi pipa, bahan pipa air dingin, dan biofouling, yang semuanya menyangkut investasi. Selain itu kajian sumber daya kelautan masih terbatas terhadap langkah pengembangan konversi energi panas laut.
Sumber : http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_7062