SEBUAH KAJIAN TENTANG KONSEP PEMILU
MENURUT ISLAM
oleh:Muhammad Ikhsan
Pengantar
Tema keikutsertaan aktifis Islam –baik dari kalangan ulama, du’at dan pemikirnya- dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang menarik dan hangat untuk dibicarakan. Dan itu dibuktikan dengan terjadinya pro-kontra di kalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak dahulu –bahkan sejak berabad-abad lalu- tema keterlibatan para ulama dan cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara –baik sebagai eksekutif, legislatif ataupun yudikatif- selalu menjadi perdebatan yang hangat dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan” atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadhi. Meskipun tentu saja perdebatan itu tidak dalam kapasitas memvonis haram-halalnya “profesi politis” tersebut, namun hanya setakat menyoal boleh atau makruhnya hal tersebut –tentu saja kemakruhan ini karena dilandaskan sikap wara’ semata, tidak lebih dari itu-.[1]
Sikap wara’ itu sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua hal:
Pertama, tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat tinggi yang terdapat dalam jabatan tersebut.
Kedua, bahwa posisi yudikatif (qadha’) secara khusus memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imamah kubra (kepemimpinan tertinggi) yang dalam hal ini dipegang oleh para khalifah yang memiliki kadar keadilan yang berbeda-beda satu sama lain. Dan –sangat disayangkan- bahwa tabiat umum para khalifah itu pasca al-Khulafa’ al-Rasyidun justru lebih diwarnai oleh kefasikan; hal yang kemudian membuat banyak ulama yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi jabatan apapun yang akan mengaitkan mereka dengan para khalifah itu. Alasannya tentu sangat jelas: rasa takut dan khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan melegitimasi kezhaliman mereka, atau karena khawatir harta yang akan mereka peroleh dari jalur itu termasuk harta yang tidak halal untuk mereka gunakan.
Meskipun menjadi suatu fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat sejumlah besar ulama yang tidak ragu untuk menerima jabatan-jabatan penting tersebut karena melihat sisi maslahat yang menurut mereka lebih besar.
Dan jika kita berpindah dan melihat realita kontemporer kaum muslimin, kita akan melihat sebuah kenyataan yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi Islam pada masa-masa sebelumnya. Perbedaan ini terwujud sangat nyata dalam “kemenangan” kekuatan sekularisme dalam pentas kehidupan sehari-hari. Interaksi kaum muslimin sendiri pun sangat jauh berubah terhadap Islam. Setelah sebelumnya agama memiliki kekuatan yang nyaris sempurna terhadap perilaku individu dan masyarakat, kini hampir dapat dikatakan bahwa kekuatan peran agama nyaris tidak melewati batas individu saja –kecuali jika ingin mengecualikan beberapa kalangan masyarakat Islam, seperti sebagian masyarakat yang ada di Jazirah Arab misalnya, yang itupun memiliki tingkat kepatuhan dan keterpengaruhan pada Islam yang tidak sama satu dengan yang lain-.
Meskipun sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan ide yang asing bagi umat Islam, namun “anehnya” secara pemikiran dan praktek ia begitu melekat dan mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat “keinginan untuk menerapkan Syariat Islam” menjelma menjadi tuduhan menakutkan yang kemudian dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum muslimin sendiri –dan yang menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawannya berperan sangat besar dalam hal ini-.
Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi perbedaan pandangan di kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’at dan aktifisnya, dalam menentukan sikap mereka.
Ada yang berpandangan bahwa semua masyarakat itu –secara lembaga maupun individu- telah menyimpang dari jalan yang benar dan perbaikan mendasar hanya dapat dilakukan melalui jalan dan cara politis. Meskipun mereka kemudian berbeda pandangan lagi: apakah perubahan itu harus melalui kudeta? Atau mengikuti persaingan politik yang keras? Atau justru dengan melakukan kekacauan dan menanamkan ketakutan pada diri para penguasa politis sebuah negara?
Ada pula yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih berada di atas jalan yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak hal yang harus diperbaiki di tubuh ummat ini –secara lembaga maupun individu-. Tapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya?
Karena itu tidak mengherankan jika para ulama pun berbeda pandangan dalam menyikapi pemilu yang diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan di dalamnya. Tema inilah yang ingin diangkat dalam makalah ini, dimana ia akan berusaha mengulas dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah syar’i yang ada.
Kaidah-kaidah Pengantar Penting untuk Penyimpulan Konsep Pemilu Menurut Islam
Sebagai langkah awal penyimpulan konsep atau pandangan Islam tentang pemilu, maka menjadi sangat penting untuk memaparkan beberapa kaidah yang akan menjadi landasan penyimpulan konsep tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, DR. Abdullah al-Thuraiqi menyebutkan beberapa kaidah dimaksud, yaitu:[2]
Pertama, bahwa Islam adalah suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dibagi-bagi, dan karena itu hukumnya saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Antara yang bersifat ibadah dan mu’amalah terjadi hubungan saling melebur satu dengan yang lain. Karena itu sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan akarnya mengunjam ke dalam sisi aqidah dan akhlaq Islam. Dan ini adalah hal yang tidak mungkin diragukan lagi.
Kedua, bahwa dalam Islam, kekuasaan yang bersifat umum (al-Walayah al-‘Ammah), seperti khalifah, qadhi, menteri, gubernur, hisbah[3], dan yang terkait dengannya; semuanya memiliki tabiat keagamaan atau kesyar’ian, meskipun kemudian banyak terkait dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi, seperti perhubungan, telekomunikasi, kesehatan, sumber daya manusia, dan yang lainnya. Itulah sebabnya, para ulama saat mendefinisikan khilafah atau imamah mengatakan:
“Ia adalah sesuatu yang ditetapkan untuk mengganti posisi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”[4]
Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Harus diketahui bahwa penguasaan dan pengaturan urusan manusia adalah termasuk kewajiban agama yang terbesar. Bahkan kehidupan agama dan dunia tidak dapat ditegakkan kecuali dengannya. Maka menjadi wajib hukumnya untuk menjadikan kepemimpinan itu sebagai (bagian dari pelaksanaan) agama dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebab mendekatkan diri kepada-Nya dengan taat pada-Nya dan pada Rasul-Nya adalah merupakan taqarrub yang paling utama.”[5]
Ketiga, bahwa ketika kekuasaan itu berpindah ke tangan orang-orang yang tidak memiliki keamanahan, maka hal itu sama sekali tidak mencabut nilai kesyar’iannya. Mengapa? Karena nilai tersebut adalah nilai yang inheren dan menyatu dengannya sehingga tidak mungkin dilepaskan.
Kekuasaan yudikatif (qadha’) misalnya –yang notabene merupakan kekuasaan syar’i yang sangat mulia-, jika di sebagian negara Islam ia berubah peradilan atas dasar undang-undang manusia dan dipegang oleh orang yang tidak memahami Syariat Islam, maka kondisi ini sama sekali tidak mengubah nilai penting dan kesyar’iannya. Karena itu, jika seorang muslim kemudian menjabat jabatan itu, maka menjadi wajib baginya untuk memutuskan dengan landasan Syariat Islam. Dan ia tidak dibenarkan melepaskan jabatan ini jika ia mampu memutuskan hukum sesuai dengan wahyu Allah.[6]
Keempat, bahwa para ulama adalah orang yang paling bertanggung jawab atas umat Muhammad saw; yang muslim maupun yang kafir, dan secara khusus masyarakat muslim; baik secara individu ataupun kelembagaan.
Dasar dari tanggung jawab ini adalah adanya kewajiban untuk menyampaikan agama ini di pundak para ulama itu. Mereka adalah pemegang amanah dan pengganti para rasul dalam menyampaikan risalah Allah.
Misi ini adalah misi yang mulia namun berat di saat yang sama, kecuali bagi mereka yang rabbaniyyun. Allah berfirman:
“...akan tetapi dia berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani dengan apa yang kalian ajarkan dari al-Kitab dan apa yang kalian pelajari.” (Ali Imran: 79)
Imam al-Thabari menjelaskan makna rabbani dalam ayat ini dengan mengatakan:
“Jika demikian, para rabbaniyyun adalah sandaran manusia dalam pemahaman, ilmu dan urusan agama serta dunia. Itulah sebabnya, Mujahid mengatakan: ‘Mereka berada di atas para ahbar, karena para ahbar adalah ulama, sementara seorang rabbani adalah orang yang mengumpulkan ilmu dan pemahaman, yang memahami politik (siyasah), pengaturan, dan memenuhi urusan rakyatnya serta apa yang menjadi mashlahat dunia dan agama mereka.’”[7]
Kelima, bahwa hukum syar’i secara umum terbagi menjadi 2 macam:
1. Hukum yang telah dijelaskan secara terperinci, seperti tauhid (aqidah), ibadah, fara’idh, hukum seputar keluarga –seperti nikah dan talaq-, hudud, qishash dan diyatnya.
2. Hukum yang masih bersifat umum. Yaitu hal-hal yang dijelaskan secara umum oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti mu’malah harta dan sistem tatanan sosial yang terkait dengan politik, administrasi, pendidikan atau yang semacamnya.
Adapun jenis hukum pertama, maka ia adalah jenis hukum yang berlaku secara konsisten dan tidak mungkin berubah (al-Tsawabit); baik yang ditetapkan oleh nash ataupun ijma’. Dan dalam hal ni tidak ada perbedaan antara yang qath’i ataupun zhanni. Perbedaan pendapat yang terjadi pada beberapa masalah diantaranya –meskipun ada- namun sangat terbatas, dan tidak menjadi masalah selama tidak menyebabkan perselisihan dan permusuhan.[8]
Adapun untuk jenis hukum yang kedua, maka ia dapat berubah dan berkembang mengikuti kondisi, tempat maupun waktu, selama tentu saja perubahan itu tidak melanggar prinsip dan kaidah yang ada.
Keenam, bahwa sistem politik dalam Islam ada yang bersifat global (mujmal) dan adapula yang bersifat terperinci (mufashshal), meskipun yang mayoritas adalah yang pertama.
Salah satu contoh yang terperinci adalah penjelasan hak dan kewajiban yang ditetapkan secara syar’i untuk sang pemimpin dan yang dipimpin. Termasuk juga objek atau bahan yang dijadikan landasan hukum oleh sang pemimpin. Untuk yang satu ini,misalnya, Allah berfirman:
“Dan hendaklah (engkau) memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah.........” (al-Maidah: 49)
Berdasarkan ayat ini jelas bahwa wahyu adalah objek atau bahan yang seharusnya dijadikan landasan hukum, meskipun ini tidak berarti keberadaan aturan atau undang-undang yang bersifat adminstratif terlarang selama ia diposisikan pada posisi yang tepat.
Adapun aturan politik yang bersifat global (mujmal) maka ia mencakup aturan-aturan yang bersifat adminstratif dan yang terkait dengan metode pelaksanaan yang merupakan bentuk penafsiran dan perincian dari prinsip-prinsip besarnya, seperti: syura, bai’at, keadilan, dan lain sebagainya.[9]
Ketujuh, bahwa kebanyakan aturan-aturan yang bersifat adminstratif itu bersifat ijtihadiyah dan bukan tauqifiyah.
Ini tentu saja sangat logis, karena sistem yang bersifat administratif tidak mungkin diberlakukan secara sama rata dengan satu model untuk semua tempat. ia bisa saja berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu negara ke negara yang lainnya.
Sistem adminstrasi pada masa Khulafa’urrasyidun –misalnya- berbeda dengan sistem yang berlaku di zaman Nabi saw ataupun dengan era pemerintahan di masa Umawiyah dan Abbasiyah.
Fakta sejarah –misalnya- menunjukkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khatthab r.a. adalah orang pertama yang menerapkan konsep Dawawin (bentuk plural dari Diwan), dan beliau juga bahkan meninggalkan beberapa kebijakan yang sebelumnya dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar r.a.
Dengan demikian, maka aturan-aturan administratif Daulah Islamiyah yang pernah ada sebelumnya dapat diambil apa yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan sejalan dengan mashlahat. Adapun aturan yang tidak sesuai, maka tidak ada masalah jika kita meninggalkan lalu mengadopsi sistem lain yang lebih mashlahat.
Demikianlah beberapa kaidah yang selanjutnya menjadi pijakan kita dalam membahas lebih lanjut konsep pemilu dalam pandangan politik Islam. Tentu saja pertanyaan yang muncul dan harus dijawab kemudian adalah: apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat administratif saja atau tidak?
Konsep Pemilu dalam Islam
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah: apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat adminsitratif “belaka”? Atau dengan kata lain, apakah Islam menetapkan aturan tertentu dalam proses pemegangan kekuasaan untuk level yang tinggi seperti jabatan imam (baca: kepala negara), qadhi, dan anggota majlis syura (parlemen)? Atau dalam hal ini tidak aturan tertentu yang baku?
Jawaban untuk semua itu adalah bahwa tidak ada satu nash pun yang menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah menetapkan aturan atau sistem tertentu untuk mencapai puncak kekuasaan. Jika kita melihat kekuasaan yang ada sejak masa wal Islam –maksudnya sejak wafatnya Rasulullah saw-, maka kita tidak menemukan hal itu. Abu Bakar menjadi khalifah melalui proses bai’at yang disepakati oleh Ahl al-Sunnah bahwa bai’at itu terjadi dengan kesepakatan semua sahabat dan bukan atas dasar nash tertentu. Karena itu tidak ada seorang sahabat pun yang menggunakan nash dalam pengangkatan Abu Bakar r.a, tapi mereka justru mengatakan: “Rasulullah saw telah rela mengangkatmu sebagai imam kami dalam urusan agama kami (maksudnya shalat), lalu mengapa kami tidak rela menjadikan engkau sebagai imam dalam urusan dunia kami?”
Lalu yang terjadi dari Abu Bakar kepada Umar bin al-Khatthab r.a adalah proses istikhlaf atau penunjukan pengganti sesudahnya. Lalu kemudian hal yang sama dinyatakan oleh Umar setelah ia terluka akibat tikaman Abu Lu’lu’ah al-Majusi: “Jika aku melakukan istikhlaf, maka orang yang lebih baik dariku pun –maksudnya Abu Bakar- telah melakukannya. Dan jika aku tidak melakukannya, maka orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya –yaitu Rasulullah saw-.”
Abu Bakar bin ‘Ayyasy (w. 193 H) pernah ditanya oleh Khalifah Harun al-Rasyid: “Bagaimana Abu Bakar r.a. diangkat menjadi khalifah?” Ia pun menjawab: “Wahai Amirul mukminin! Allah dan Rasul-Nya telah mendiamkan hal itu, dan kaum beriman pun mendiamkannya.” Harun al-Rasyid berkata: “Demi Allah! Anda hanya membuat saya semakin tidak paham.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy lalu mengatakan: “Saat itu Rasulullah saw sakit selama 8 hari, lalu Bilal masuk menemui beliau, lalu beliau berpesan padanya: ‘Perintahkanlah Abu Bakar unuk memimpin shalat!’ Maka ia pun memimpin shalat selama 8 hari, dan wahyu saat itu masih turun kepada Nabi saw. Dan Nabi pun diam (tidak membicarakan soal pengangkatan Abu Bakar setelah beliau) karena Allah pun tidak menyinggungnya. Dan kaum beriman (baca: sahabat) pun mendiamkannya karena diamnya Rasulullah saw.”[10]
Penjelasan tersebut sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada nash yang tegas dalam hal ini yang menjelaskan metode atau sistem peralihan atau pencapaian sebuah tampuk kekuasaan dalam Islam. Apalagi sampai pada taraf menentukan individu atau dinasti tertentu. Meskipun terdapat nash yang menunjukkan bahwa para imam haruslah berasal dari Suku Quraisy, namun poin ini memiliki cakupan yang begitu luas:
(1) Quraisy adalah nama yang mencakup berbagai suku-suku Arab yang ada di Mekkah, dan itu artinya ia lebih luas dari sekedar seorang individu atau dinasti tertentu.
(2) Syarat ini tentu juga harus didukung syarat lain, yaitu: jika sang Quraisy itu memiliki kapabilitas sebagai pemimpin.
(3) Syarat ini hanya terkait dengan al-Imamah al-‘Uzhma saja, bukan kekuasaan yang lainnya. Dan syarat ini akan semakin terasa pentingnya bila kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang mempunyai kapabilitas yang sama, lalu siapa yang akan ditunjuk? Poin kequraisyian inilah yang menentukannya.
Dan jika demikian persoalannya, maka itu berarti bahwa perkara ini tetap bersifat muthlaq dan tidak muqayyad. Artinya siapa yang memiliki kemampuan maka dia berhak untuk menjabatnya. Tetapi intinya adalah bahwa dalam hal ini Islam tidak memberikan satu ketetapan baku dalam proses peralihan atau penguasaan tampuk kepemimpinan tertinggi di sebuah negara.
Konsep pemilu sendiri –dalam bentuknya yang modern- dapat dikatakan sebagai konsep dan sistem yang umum digunakan di berbagai negara Barat, yang dalam hal ini mayoritas menerapkan demokrasi sebagai the way of life mereka dalam seluruh bidang kehidupan. Konsep ini secara umum memiliki karakter ideologis dan sistem administratif yang khas sebagaimana akan dijelaskan berikut ini:
Karakter Ideologis Pemilu Barat
Diantaranya adalah:
1. Penetapan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan negara –sesuai dengan latar belakang ideologi mereka. Dan ini ada merupakan tugas utama parlemen.
2. Menjauhkan agama –apapun- dari realitas kehidupan umum masyarakat (politik, adminstrasi, ekonomi, peradaban, sosial, dan lain sebagainya). Sehingga tidak mengherankan jika undang-undang yang lahir murni bersifat duniawi belaka. Tidak ada pengaruh agama sedikit pun di dalamnya, kecuali mungkin sekedar basi-basi untuk memberikan penghargaan agar tidak dianggap melecehkannya.
3. Hubungan sosial-politik sepenuhnya dibangun atas dasar kebebasan individu. Dan ini adalah prinsip demokrasi yang sangat dibanggakan oleh Demokrasi Barat, bahkan mungkin tidak berlebihan untuk mengatakannya sebagai prinsip suci bagi mereka. Meskipun prinsip dibatasi dengan “tidak menyebabkan kerugian bagi orang lain”, namun dalam prakteknya ia benar-benar dibebaskan mengikuti nafsu dan keinginan pemiliknya. Dan tentu saja, agama tidak diberi kekuasaan untuk menghakiminya.
Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kebebasan semacam ini hanya mengandung kemudharatan. Tentu saja ada beberapa sisi positif di dalamnya, seperti:
- Bahwa kebebasan semacam ini (seharusnya) memberikan kesempatan dan ruang gerak yang sangat luas bagi yang ingin memperjuangkan kebenaran –terutama para da’i-, dimana mereka dapat bekerja dan berfikir dengan tenang tanpa khawatir mendapatkan tekanan atau apapun yang semacamnya.
- Bahwa ia membangun sebuah hubungan yang penuh keterusterangan antara penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka secara bebas.
Karakter Teknis-Adminstratif Pemilu Barat
Diantaranya adalah:
1. Keragaman partai politik. Dan ini adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem demokrasi. Sehingga para para ahli ilmu politik pun menganggapnya sebagai salah satu konsekwensi logis bagi sistem parlemen.[11]
2. Proses pemilihan, baik untuk kepemimpian tertinggi ataupun anggota parlemen. Ini juga adalah karakter yang secara konsisten melekat pada sistem ini. Karenanya pemerintahan hasil pemilihan kemudian menjadi prinsip dasar yang tertanam kuat sebagai salah satu prinsip Demokrasi.
3. Pemerintah terpilih akan memimpin dalam batas waktu tertentu; 2, 3, 4 atau 5 tahun misalnya. Dengan berakhirnya masa tersebut, maka berakhir pula kekuasaan pemerintah terpilih.
4. Pemisahan 3 jenis kekuasaan: legislatif, judikatif dan eksekutif. Ini juga dapat disebut sebagai salah satu prinsip asasi sistem demokrasi yang diserukan Barat.
Dengan melihat ulang karakteristik tersebut –baik yang bersifat ideologis maupun adminstratif-, maka nampak jelas bahwa karakteristik ideologis yang disebutkan terdahulu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam. Karakter pertama misalnya –penetapan undang-undang- jelas bertentangan dan bertabrakan dengan misi dan tujuan kenabian dan risalah yang diturunkan Allah (samawiyah). Allah berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diinginkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah), tentulah mereka telah dibinasakan.” (Al-Syura: 21)
Karakter kedua juga demikian: memisahkan agama dari kehidupan sosial masyarakat, sebab risalah Islam jelas diturunkan oleh Allah untuk menjadi sistem dan aturan bagi setiap sisi dan aspek kehidupan manusia, karena ia menetapkan bahwa seluruh bagian kehidupan adalah ibadah kepada Allah. Karenanya ia tidak mengenal pemisahan antara agama dan kehidupan sehari-hari, bahkan mengecam tindak pemisahan itu, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Nisa’ ayat 150-151.
Sedangkan karakter ketiga yaitu kebebasan, maka ini dapat bermakna dan berdampak positif dan negatif sekaligus. Karenanya ia tidak bisa digunakan secara mutlak, tetapi yang harus dilakukan adalah memberikan batasan terhadap bentuk kebebasan yang sejalan dengan Syariat.
Adapun tiga karakter yang bersifat formatis: keragaman partai, pemilihan umum, dan pemisahan 3 jenis kekuasaan, maka nampaknya ini dapat dikategorikan sebagai sisi yang bersifat formalitas administratif yang mungkin dapat diambil dan diadopsi sisi-sisi positifnya. Ini tidak ubahnya seperti sistem pendidikan modern yang berlaku umum di seluruh dunia, dimana proses pendidikan berjalan dengan sistem yang sulit untuk dihindari, seperti pembagian fase pendidikan menjadi 3 tahap: dasar, menengah dan perguruan tinggi; dimana seorang pelajar tidak bisa pindah ke tahap selanjutnya kecuali setelah menyelesaikan tahap sebelumnya.
Metode semacam ini tidak pernah dikenal dengan segala rinciannya di kalangan ulama kaum muslimin bahkan sampai sebelum satu abad ini. Dan itu tentu saja tidak menjadi sebuah masalah untuk mengadopsi sisi positifnya, sebab jika kita melihat sistem yang berlaku sepanjang sejarah politik Islam, kita akan menemukan bahwa ada banyak hal yang berlaku pada masa awal Islam, namun kemudian pada masa selanjutnya tidak lagi berlaku. Contoh yang paling sederhana adalah konsep “negara”. Pada masa awal Islam, setidaknya sejak masa Khulafa’ al-Rasyidun hingga Khilafah Abbasiyah, yang dimaksud dengan “negara Islam” adalah seluruh wilayah yang berada di bawah naungan dan jangkauan kekhilafahan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah. Akan tetapi batasan itu kini tidak lagi berlaku sekarang, sebab komunitas kaum muslimin di setiap belahan bumi harus “menyesuaikan diri” bahwa setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, mereka tidak lagi bernaung di bawah satu kekhilafahan. Sehingga akibatnya, konsep “negara” pun menjadi semakin kecil cakupan dan jangkauannya dibanding sebelumnya.
Jika kita telah sepakat bahwa keragaman partai, pemilihan dan pemisahan tiga jenis kekuasaan adalah termasuk persoalan yang tidak lebih dari sekedar persoalan teknis administratif, maka itu berarti penggunaannya sangat bergantung pada prinsip “Jalb al-Mashlahah wa Dar’u al-Mafsadah” . Dan ini adalah prinsip yang umum berlaku dalam hal-hal yang bersifat teknis administratif semacam ini dalam sejarah politik Islam awal, terutama di masa Khalifah Umar bin al-Khathab r.a.
Karena itu, nampak menjadi sangat dipaksakan jika kita berusaha mencari-cari rincian dalil untuk membuktikan kesyar’iyan atau ketidaksyar’iyan adanya keragaman partai, pemilihan umum atau pemisahan 3 jenis kekuasaan tersebut. Dan siapa saja yang berusaha melakukan itu, maka argumentasi apapun yang dikemukan akan tetap mengundang polemik karena dalil yang dikemukakan tidak langsung menukik pada akar persoalan ini, sebab memang tidak ada nash yang sharih untuk itu.
Itulah sebabnya, perlu ditegaskan pula bahwa ketika kita mengatakan bahwa sistem pemilu adalah sebuah sistem yang bersifat teknis administratif dan kita boleh mengadaptasinya dari pengalaman bangsa atau komunitas lain sama sekali tidak bertentangan dengan Syariat Islam, maka itu tidak berarti bahwa serta merta kita mengadopsi bulat-bulat apa yang mereka terapkan dalam sistem tersebut. Sebab sudah pasti ada yang bermanfaat dan tidak dalam sistem ini. Atau dalam bahasa lain, terdapat maslahat dan mafsadat di sana. Karena itu sekali lagi muwazanah atau melakukan pertimbangan antara keduanya menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Sehingga pada akhirnya kita dapat memilih mana yang sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, dan menolak yang mengandung mafsadat. Dan dengan metode seperti inilah pada akhirnya kita berinteraksi dengan semua ide dan pemikiran yang berasal dari luar Islam.
Salah satu poin yang mungkin diperbaiki dalam sistem pemilu tersebut adalah membatasinya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kualitas intelektualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti para ulama dan akademisi.[12] Mengapa? Karena sebenarnya sangat tidak logis dan mashlahat jika pemilihan semacam ini diserahkan kepada semua orang (baca: rakyat) yang kemudian memilih orang yang tidak mereka kenal atau bahkan tidak pernah mereka dengar tentangnya. Itulah sebabnya orang bodoh, awam, pemilik pemikiran yang menyimpang, dan yang semacamnya harus dijauhkan dari “misi” yang sangat penting ini: pemilihan pemimpin negara.
Metode seperti ini jika ditelusuri mirip dengan sistem ahl al-hil wa al-‘aqd yang kita kenal secara historis dalam Islam. Dan dalam aplikasi kontemporernya, penunjukan atau pemilihan dewan atau majlis atau apapun namanya ini diserahkan pada lembaga-lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual, seperti perguruan tinggi, dewan ulama, organisasi-organisasi keilmuan, dan yang semacamnya. Dan dewan atau majlis atau apapun namanya ini tentu tidak dapat disamakan dengan Dewan Parlemen, sebab cakupannya jauh lebih luas daripada Dewan Parlemen.
Penutup
Dari uraian di atas, sesungguhnya ada satu poin penting yang ingin ditegaskan oleh penulis, yaitu bahwa saat ini kita sebagai seorang muslim dihadapkan pada dua hal yang penting untuk selalu dijadikan pertimbangan: (1) bahwa kita harus berpegang teguh pada Syariat Allah, dan (2) disaat yang sama kenyataan masa kiwari yang juga menuntut kita untuk dapat menyesuaikan diri dengan segala perkembangannya.
Kedua hal ini jelas harus kita jalani dengan seimbang. Itulah sebabnya, keteguhan kita pada Syariat Allah seharusnya tidak menghalangi kita untuk beradaptasi dengan zaman manapun, sebab pada dasarnya Syariat Islam memberikan kita ruang untuk itu. Ada hal-hal yang dapat “dilenturkan” –dan karena itu, ia dapat berubah dari waktu ke waktu-, namun ada hal-hal yang tidak dapat digoyahkan sedikit pun. Dan kasus pemilu serta sistem pemerintahannya lainnya adalah contoh nyata yang menunjukkan pada kita kedua hal itu.
Pada akhirnya, yang paling kita butuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang dalam dan bijak akan nilai-nilai Syariat Allah ini, agar kita dapat mengejawantahkannya secara tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Rabb yang menurunkannya sebagai rahmat bagi alam semesta.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Cipinang Muara, 15 April 2006
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardy. Tahqiq: Ahmad Mubarak al-Baghdady. Maktabah Ibn Taimiyah. Kuwait. Cetakan pertama. 1409 H.
2. Al-Daulah wa Siayash al-Hukm fi al-Fiqh al-Islamy. DR. Ahmad al-Hushary. Dar al-Anshar. Kairo. Cetakan keempat. 1977 M.
3. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an. Muhammad ibn Jarir al-Thabary. Tahqiq: Mahmud Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir. Dar al-Ma’arif. Mesir. Cetakan kedua. T.t.
4. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Dikumpulkan oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim. Kompleks Percetakan al-Qur’an Raja Fahad. Madinah. 1416 H.
5. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah. DR. ‘Abdullah bin Ibrahim al-Thuraiqy. http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2896 dan http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2869.
6. Al-Qanun al-Dustury wa al-Anzhimah al-Siyasiyah. DR. ‘Abdul Hamid Mutawalli. Dar al-Manar. Kairo. Cetakan pertama. 1413 H.
7. Siyar A’lam al-Nubala’. Muhammad ibn Ahmad al-Dzahaby. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth. Mu’assasah al-Risalah. Beirut. Cetakan ketujuh. 1410 H.
[1] Lih. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, hal. 1
[2] Ibid, hal. 2-4.
[3] Hisbah adalah sebuah lembaga resmi pemerintah Islam yang bertugas menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
[4] Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5.
[5] Majmu’ al-Fatawa, 28/390.
[6] Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, hal. 3.
[7] Lih. Tafsir al-Thabari, 3/132.
[8] Lih. al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah, hal. 3
[9] Ibid, hal. 4
[10] Lih. Siyar A’lam al-Nubala’, 8/506.
[11] Lih. Al-Qanun al-Dustury wa al-Anzhimah al-Siyasiyah, hal. 108.
[12] Lih. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlaminyah, 2/5.