Kepastian Hukum Perolehan Hak Atas Tanah Bagi Investor

Oleh : Sudiman Sidabukke



Investor selalu dipandang sebagai subyek hukum yang kuat ekonominya, sehingga jarang terpikirkan apakah masih diperlukan suatu kepastian hukum bagi investor.



Perolehan hak atas tanah bagi investor, yang berupa subyek hukum perorangan maupun badan hukum, dapat dilakukan melalui proses peralihan hak atas tanah (yang berupa jual beli),; pelepasan hak atas tanah dan/atau permohonan hak atas tanah. Tanah-tanah tersebut diperoleh oleh investor dari Negara selaku penguasa atas tanah ataupun dari subyek hukum pemilik asal hak atas tanah.



Terdapat ketidakpastian hukum dalam penentuan obyek hukum dan subyek hukum pemilik hak atas tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga menyebabkan munculnya ketidakadilan dan perbedaan-perbedaan penafsiran yang pada akhirnya merugikan investor.



Ketidakadilan yang dialami oleh investor di dalam mendapatkan hak atas tanah terjadi, oleh karena tidak adanya konsep yang jelas mengenai hak-hak atas tanah dan siapakah sesungguhnya yang diakui sebagai pemilik hak atas tanah oleh peraturan perundang-undangan (UUPA dan ketentuan pelaksanaannya), sehingga kepastian oleh karena hukum tidak tercapai. Disamping itu, pertentangan ketentuan yang menentukan siapakah pemilik hak atas tanah juga membuktikan tidak adanya kepastian dalam hukum.



Diakuinya hukum adat dalam sistem hukum nasional (UUPA) yang menyebabkan munculnya dualisme juga merupakan faktor penyebab ketidakpastian hukum, oleh karenanya ajaran positifisme haruslah diterapkan secara utuh, bukan di mix, dengan demikian tidak ada lagi ruang bagi berlakunya hukum adat.



Disamping tidak sempurnanya peraturan perundang-undangan di bidang perolehan hak atas tanah, faktor lain yang menjadi penghalang kepastian hukum adalah penegakan hukum yang tidak efektif, terjadinya disinkronisasi dan tidak adanya koordinasi mengenai kewenangan antar lembaga yang terkait dengan proses perolehan hak atas tanah serta budaya hukum masyarakat yang tidak menghargai investor, sehingga investor belum diperlakukan sebagai subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan subyek hukum lain. Masyarakat dan birokrat masih memposisikan diri sebagai “benalu” bagi investor dengan berlindung pada ketidakmampuan ekonomi, sehingga investor dibebani dengan cost yang tidak jelas perhitungannya dengan nama iuran, sumbangan, bantuan dan dana partisipasi.



Sumber : Jurnal YUSTIKA, Universitas Surabaya, Vol 10 No.1 Juli 2007 : hal 1-19

Blog Archive