Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh jadi, merupakan pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah dia lakukan adalah tindak KDRT. Atau bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan
yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri dibawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi.
Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari UU PKDRT ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan kekerasan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bias terjadi antara pihak suami kepada istri dan sebaliknya, ataupun orang tua terhadap anaknya. Sebagai Undang-Undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, UU PKDRT ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban Negara dalam memberikan perlindungan segera kepada yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini hak asasi manusia, khususnya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Sumber : Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5 No. 3 hal 69-74, September 2008, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta.