Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) Nomor 23 Tahun 2004 membuat jengah sebagian orang, karena menyeret persoalan privat ke ranah publik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa masalah domestic violence bagi sebagian masyarakat kita masih dipandang sebagai “tabu” internal keluarga, yang karenanya tidak layak diungkap ke muka umum. Maka tidak heran, meski Undang-Undang ini sudah berlaku lebih dari tiga tahun, kasus yang secara resmi ditangani masih bisa dihitung jari terlepas dari perdebatan yang melingkupinya, Undang-Undang ini diharapkan menjadi alat yang mampu menghentikan budaya kekerasan yang ada di masyarakat, justru dari akar agen pengubah kebudayaan, yaitu keluarga. Perempuan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga, diharapkan mampu mengembangkan nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan dan kesederajatan, keperdulian satu sama lain, sehingga mampu menyingkirkan pola-pola tindakan agresif dari anak-anak dan remaja. Karena pada saatnya, tradisi kekerasan yang diwarisi dari pola pengasuhan dalam keluarga ini, akan berhadapan dengan persoalan hukum negara jika tetap dipelihara.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004, terlepas dari debat yang melingkupinya, telah menggeser wilayah persoalan privat menjadi persoalan publik. Ada harapan besar dari implementasi undang-undang ini diantaranya terhentinya budaya kekerasan yang ada di tengah masyarakat, dimulai dari wilayah yangpaling menentukan yaitu rumah. Stereotype jender yang paling melekat pada laki-laki dan perempuan, seringkali menjebak kedua jenis kelamin ini pada posisi yang sulit. Hal ini juga menandakan, mereka yang bergerak pada wilayah feminist legal theory yang berusaha merekonstruksi sistem hukum yang netral, obyektif, dan transformatif, mulai menuai hasil. Netralitas hukum yang mengandaikan imparsial (tidak memihak) pada satu pihak atau golongan, sehingga dalam perkembangannya hukum berdampak pada keberadaan perempuan. Obyektifitas hukum dicapai jika polaritas dan dikotomi maskulin feminin dihilangkan. Dengan demikian, kekerasan diwilayah domestik juga dianggap sebagai tindak kejahatan. Transformatif bermakna tidak hanya perubahan dalam traktat hukum, melainkan modifikasi mekanisme hukum yang adil bagi perempuan. Feminist legal theory memperjuangkan konsep hukum yang didasari oleh pengalaman perempuan sebagai starting point. Kesadaran hukum bagi perempuan pun perlu dibangun untuk memperoleh hak-hak dan kesempatan yang sama.
Sumber : Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5 No. 3 hal 75-86, September 2008, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta.