Oleh Dr. Moh. ROQIB, M.Ag
Putus asa, jika tidak dosa mungkin pengamalnya lebih banyak dari berita yang selama ini kita dengar. Bunuh diri berjamaah (bersama keluarga), terjun dari mall, stress, dan mendaulat diri sebagai “pengangguran” adalah wujud kongkritnya. Kemalangan, menimpa bangsa ini hamper merata bersamaan dengan kejayaan yang fantastis dirasakan oleh “segelintir” oknum pejabat yang merangkap sebagai “pedagang” atau oknum pengusaha yang merangkap sebagai “pejabat”. Dagangan dan jabatan silih berganti berfungsi atau secara bersamaan untuk melipat “karunia sumber daya alam” yang melimpah di negeri ini. Dilipat dan digenggam kemudian dipermainkan sesukanya.
Manusia komersial, hedonis, dan kanibal yang dulu sering dibaca dalam komik dan cerita fiktif saat ini menjadi kenyataan yang membuat haru biru kehidupan. Homo homini lupus semakin dekat dan nyata. Cerita Negara yang gemahripah loh jinawe, tata tentrem kerta raharja menjani lamunan dan impian bersama. Memang impian, harapan, dan lamunan –dalam kondisi tertentu—merupakan obat mujarab untuk memberikan lelipur lara agar kita survive dalam hidup, bertahan dalam menghadapi prahara nasional ini.
Pendidikan yang menjadi ujung tombak peningkatan SDM dan kesejahteraan masih menjadi ujung tombok bagi para guru yang mendidik di berbagai lembaga ini. Kemajuan telah dirasakan oleh sebagian kecil guru yang sebagian besarnya mengalami kemacetan. Dari mana kita mengurai benang kusust ini? Mengapa Negara yang kita cintai menjadi seakan menunjukkan kebencian dan murkanya? Bumi memuncratkan lumpur panas, angin menggeliat dengan arah putar zig zag dan cepat, gunung batuk, air muntah meratakan bumi, api melahap pepohonan dan rumah yang tidak bersalah. Ada apa ini ?.
Berbagai pertanyaan tersebut akan dijawab serba singkat dalam makalah ini melalui “kaca” pendidikan dan politik.
Pendidikan Sebagai Soft Power
Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama dibangun di atas pndasi pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah hayalan. Hayalan yang berkembang dalam diri dan memiliki gap yang besar akan membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang kurang memadai jika dibarengi dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan oleh sinetron dan iklan di media cetak dan elektronik akan membuat sebagaian masyarakat menjadi benar-benar gila. Gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya. Bukan hanya rakyat jelata yang terserang penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha, guru, dosen, dan kyai. Trend kegilaan ini bias ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka yang mestinya digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan publik. Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah meraih kejayaan itu.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasab mata tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik adiluhung dan sekaligus mempu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan politik pendidikan bias berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa bermusuhan.
Sekolah Sebagai Alat Politik
Orang Miskin Dilarang Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan. Pendidikan dimaknai sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak.
Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan kemanusiaan.[3] Sekolah bukan lagi mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu direnungkan:
1. Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut. Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak, informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.
2. Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk memajukan peradaban yang berkeadaban.
Politik Keterpaksaan Sekolah
Jika sekolah masih diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi. Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.
Kebebasan memilih pendidikan yang berkualitas tanpa dibebani biaya yang tidak terjangkau adalah salah satu solusi di samping peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang berkualitas harus tersebar di seluruh sudut kehidupan bangsa sehingga muda diakses. Dengan teknologi informasi, upaya ini menjadi lebih mudah untuk direalisasikan.
Untuk memberikan alternatif solusi agar sekolah bisa murah sehingga bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat di antaranya dengan :
1. Pengalokasian dana APBN/APBD 20 persen untuk pendidikan, sehingga tidak hanya menjadi wacana atau dengan menggunakan politik anggaran.[4]
2. Memotong gaji pejabat tinggi yang dialokasikan untuk pendidikan berdasarkan komitmen yang dipaksakan pemerintah.
3. Menarik pajak pendidikan melalui perusahaan-perusahaan besar.
4. Menginvestigasi dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak yang melakukan korupsi atas anggaran pendidikan.
5. Mendorong sektor usaha yang terkait dengan lembaga pendidikan untuk mengalokasikan anggaran yang bisa memanfaatkan secara maksimal oleh institusi pendidikan.
6. Melibatkan media massa terutama untuk memberi liputan yang berani dan tajam mengenai komitmen sejumlah kalangan untuk pendidikan.
7. Membuat standar baru tentang kualitas pendidikan yang tidak saja menyentuh kemampuan dan krativitas siswa melainkan juga ongkos sekolah.
8. Mendorong manajemen lembaga pendidikan secara terbuka dengan melibatkan sejumlah wali murid dan jika perguruan tinggi adalah mahasiswa untuk mendesain kebutuhan lembaga pendidikan.
9. Mendorong kalangan parlemen untuk terlibat aktif dalam penentuan pejabat pendidikan. Pejabat pendidikan bukan urusan internal sekolah melainkan urusan publik.
10. Melakukan penarikan dana langsung ke kalangan masyarakat.
Pendidikan yang Tejangkau dan Berprestasi
Sepuluh alternatif tersebut masih perlu didiskusikan dan dilengkapi.
1. Memotong gaji memberikan kesan pemaksaan. Pemaksaan memberikan efek kurang positif dalam pendidikan. Sebagai alternatif bisa dilakukan sosialisasi zakat profesi dan zakat semua penghasilan yang diperoleh oleh pejabat dan tenaga profesional.
2. Menerapkan konsep bahwa bagi orang yang telah membayar zakat di atas bisa dimasukkan sebagai bagian dari pembayaran pajak. Dengan ikatan spiritual dimungkinkan para pengusaha lebih mudah untuk mengeluarkan dana pendidikan.
3. Melakukan kontrol secara komprehensip dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak yang melakukan korupsi bukan hanya atas anggaran pendidikan tetapi pada semua anggaran.
4. Memanfaatkan dan mendukung pendidikan keluarga (home schooling) dengan optimalisasi peran ibu sebagai pendidikan anak dan generasi muda.[5]
5. Membangun tradisi keilmuan/akademik di setiap lingkungan sosial dan melengkapi sarana atau media pendidikan sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
6. Optimalisasi fungsi masjid dan perpustakaan. Apabila perpustakaan belum ada bisa dimachingkan dengan masjid sekaligus upaya pelengkapan buku-buku yang dibutuihkan dan aktual bagi masyarakat.[6]
7. Membuat kelompok pemikir kependidikan di pusat dan masing-masing daerah yang bertugas memberikan masukan dan antisipasi terhadap problem-problem kependidikan. Hal ini karena problem yang akut akan membutuhkan biaya tinggi dan kemudian akan membebani masyarakat.
8. Mendorong berdirinya sentra-sentra pendidikan masyarakat seperti pesantren dan madrasah diniyah yang biasanya dikelola dengan kesadaran tinggi dan kemandirian.
9. Memilih pejabat yang berpihak dan bukan yang netral. Memilih pejabat atau pimpinan yang berkarakter memihak rakyat dan keadilan.
Terkait dengan pendanaan, selain dana dari sumber yang sudah lazim, sekolah/lembaga pendidikan dapat mengembangkan dana dari donatur (infaq-shadaqah), zakat, dan wakaf (termasuk wakaf media pembelajaran, buku perpustakaan, dan fasilitas masjid). Pendanaan model ini bisa diterapkan khususnya pada madrasah atau sekolah agama apalagi keluhan madrasah yang selama otonomi daerah diibaratkan (Kompas, 11 September 2004: 10) tak lebih dari anak tiri bagi pemerintah daerah dan tak lebih dari anak angkat bagi pemerintah pusat.
Pendidikan yang murah adalah pendidikan yang berprestasi. Prestasi ini bisa kita capai dengan kerja keras, komitmen yang tinggi, dan kerja sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintah. Dukungan politik dan semakin kondusifnya peran politik masyarakat di era reformasi ini prestasi sekolah atau lemabaga pendidikan bisa lebih mudah direalisasikan.
Political Will Pemimpin dan Do’a Khusyu’ Rakyat
Dalam masyarakat paternalistik, pemimpin, pejabat, dan orang tua merupakan panutan yang menentukan. Pemikiran dan wacana yang berkembang hanya akan menjadi agenda jika pemimpin di republik ini tidak merealisasikannya. Kebijakan politik harus segera diambil sebelum negara ini menjadi lebih “menyedihkan”. Harapan terhadap political will ini juga terkait dengan pemimpin informal dan nonformal yang memiliki kemampuan dan kekuatan lebih disbanding rakyat kebanyakan.
Do’a kaum dhu’afa’ akan terkabul jika dilakukan dengan khusyu’ yang berarti disertai dengan ihktiar yang serius dan bergandengan tangan dengan berbagai pihak untuk maju. Pertikaian tidak lagi diagendakan apalagi dilaksanakan, karena waktu tertumpah untuk pendidikan umat dan kemanusiaan. Dengan demikian semoga bencana di negeri ini berganti menjadi kejayaan, baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Wassalam.
[1] Makalah singkat ini disampaikan dalam “Seminar Pendidikan 100 Tahun Kebangkinan Nasional” PC Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Banyumas Tanggal 20 Mei 2008.
[2] Drs. Muhammad Roqib, M.Ag adalah Dosen Jurusan Tarbiyah dan Pembantu Ketua I bidang Akademik Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, sedang mempersiapkan promosi disertasi Program Doktor (S-3) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Sebagai bahan referensi, menarik untuk dibaca buku Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan, dan Pembebasan, (Yogyakarta: Read, 2000).
[4] DIPA yang memasukkan PNBP (seperti SPP) dicurigai sebagai bagian dari politik pendidikan yang didesain pemerintah untuk memenuhi 20 % APBN/APBD.
[5] Terkait dengan peran perempuan dalam pendidikan, baca buku penulis Pendidikan Perempuan (Yogyakarta: Gama Media & STAIN Press, 2003) sedang terkait dengan pemanfaatan budaya dalam pendidikan (home schooling) baca buku penulis Harmoni Dalam Budaya Jawa : Dimensi edukasi dan Keadilan Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & STAIN Press, 2007).
[6] Tentang optimalisasi fungsi masjid, baca buku penulis Menggugat Fungsi Edukasi Masjid (Yogyakarta: Grafindo & STAIN Press, 2005).