Pada dasarnya, hubungan-kerja, yaitu hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah. Perjanjian-kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentua-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan-kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
Negara mengadakan peraturan-peraturan mengenai hak dan kewajiban buruh dan majikan, baik yang harus dituruti oleh kedua belah pihak, maupun yang hanya akan berlaku, bila kedua belah pihak tidak mengaturnya sendiri dalam perjanjian-kerja, dalam peraturan-majikan atau dalam perjanjian perburuhan.
1. PERJANJIAN-KERJA
Bagi perjanjian-kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak majikan atau secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh majikan.
Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun biasanya diadakan dengan singkat sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.Maka sudah jelas bahwa betapa perlunya ada peraturan yang secara agak lengkap memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.
2. PERATURAN MAJIKAN
Peraturan-majikan atau peraturan-peraturan perusahaan ini atau lengkapnya peraturan perburuhan-majikan dibuat secara sepihak oleh majikan, sehingga majikan ini pada dasarnya dapat memasukkan apa saja yang diinginkannya. Dia dapat mencantumkan kewajiban buruh semaksimal-maksimalnya dengan hak yang seminimal-minimalnya dan mencantumkan kebalikannya untuk pihak majikan. Asal dalam hal itu majikan tidak melanggar undang-undang tentang ketertiban umum, melanggar tat-susila, melanggar ketentuan perundang-undangan yang sifatnya memaksa atau aturan yang tidak boleh dikesampingkan dengan peraturan-majikan, dan asal peraturan-majikan itu memenuhi syarat yang harus dipenuhinya, yaitu:
- Disetujui secara tertulis oleh buruh;
- Selembar lengkap peraturan-majikan itu dengan Cuma-Cuma oleh atau atas nama majikan telah diberikan kepada buruh;
- Bahwa oleh atau atas nama majikan telah diserahkan kepada Departemen Perburuhan satu lembar lengkap peraturan majikan tersebut yang ditandatangani oleh majikan, tersedia untuk dibaca oleh umum;
- Satu lembar lengkap peraturan-majikan ini ditempelkan dan tetap berada di tempat yang mudah dapat didatangi buruh, sedapat-dapatnya dalam ruang kerja, sehingga dapat dibaca dengan terang.
3. PERJANJIAN-PERBURUHAN
Perjanjian-perburuhan adalah perjanjian yang diadakan oleh satu atau beberapa serikat buruh yang terdaftar pada Departemen Perburuhan dengan seorang atau beberapa majikan, satu atau beberapa perkumpulan majikan yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat perburuhan yang harus diperhatikan dalam perjanjian-kerja.
Perjanjian-perburuhan bukanlah perjanjian kerja-sama atau perjanjian-kerja-kolektif, pertama karena bukan perjanjian-kerja yaitu perjanjian mengenai pekerjaan, dan kedua bukan perjanjian-bersama atau perjanjian-kolektif, yaitu oleh semua buruh bersama-sama atau oleh semua buruh secara kolektif.
Dalam perjanjian-perburuhan, majikan tidak dapat memasukkan apa saja yang ia kehendaki untuk menekan atau merugikan buruh. Karena itu perjanjian-perburuhan di Negara barat memainkan peranan yang sangat penting. Hampir tiap peraturan yang mengatur hubungan kerja di pelbagai perusahaan adalah hasil musyawarah antara majikan dan serikat buruh yang bersangkutan.
Di Indonesia perkembangan perjanjian-perburuhan masih belum berkembang atau belum maju. Sebaliknya majikan lebih suka mengatur segala sesuatu dalam perturan-majikan, yang pembuatannya tidak memenuhi syarat-syarat yang dimintakan oleh aturan perundangan. Ini semua mencerminkan kedudukan majikan dan buruh beserta organisasinya di dunia perburuhan Indonesia, yang oleh sementara orang dikatakan sebagai masih dihinggapi oleh jiwa “tuan” dan “hamba”! Artinya yang satu berpendirian; “aku yang punya perusahaan akulah yang bertanggungjawab, apa pula buruh mau ikut mengatur!” sedang yang lainnya berpendirian: “biarlah saya yes saja, nanti kalau majikan marah, malah diberhentikan”
4. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Di bidang hubungan-kerja ini sebetulnya belum ada kesatuan hukum.
Karena itu telah disepakati untuk menggunakan bagi mereka yang belum dikuasai olehnya, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III, Bab 7A dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Kitab itu yang ada hubungannya atau sangkut-pautnya soal perburuhan sebagai pedoman.
Demikian juga peraturan-peraturan lainnya bagi golongan-golongan warganegara yang tidak dikuasai, diberlakuakan sebagai pedoman.
Dengan demikian maka secara praktis semua peraturan perburuhan berlaku bagi semua buruh dan semua majikan, sebagian secara mutlak dan sebagian lainnya sebagai pedoman.
5. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Berakhirnya hubungan-kerja bagi buruh berarti kehilangan mata pencaharian, merupakan permulaan dari segala kesengsaraan. Dan Pemutusan atau pengakhiran hubungan kerja persoalan yang sangat penting bahkan terpenting bagi buruh dalam masalah perburuhan.
A. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH MAJIKAN.
Cara-cara yang dianut pada pemutusan hubungan-kerja oleh majikan itu, merupakan aspek yang sangat penting dalam hubungan-kerja, karena atuan dan praktik yang dilakukan dalam hal pemberhentian (dismissal) atau penghematan (lay-off), mempengaruhi kepentingan vital dari majikan dan buruh.
Prosedur pemberhentian dan penghematan dengan sendirinya harus dilihat dengan latar belakang ekonomi umumnya dari Negara yang bersangkutan. Akibat pengakhiran hubungan-kerja adalah sangat berbeda-beda berhubung dengan adanya cukup lapangan pekerjaan atau sebaliknya dengan berkurangnya lapangan pekerjaan atau pengangguran. Disini tidak akan dipersoalkan usaha memajukan penempatan tenaga. Uraian ini hanya mempersoalkan masalah buruh kehilangan pekerjaan dan bukan masalah apakah dia akan mendapat atau tidaknya pekerjaan lain.
a. PEMBERHENTIAN PERORANGAN
Syarat yang harus dipenuhi dan prosedur yang harus ditempuh dalam pemberhentian buruh merupakan penjelmaan dari falsafah umum mengenai hakekat hubungan-kerja dan karena itu mengalami perubahan dan kemajuan yang berarti selama seabad yang lalu.
Satu-satunya kewajiban berkenaan dengan pengakhiran hubungan-kerja yang dipikulkan kepada kedua belah pihak oleh hukum disejumlah Negara, adalah untuk memperhatikan tenggang waktu pernyataan pengakhiran.
Tetapi maksud dari ketentuan itu rupa-rupanya bukanlah kehendak untuk melindungi buruh, sebab ketentuan semacam itu merupakan syarat khas bagi tiap hubungan kontraktuil yang jangka waktunya tidak ditentukan.
b. ALASAN PEMBERITAHUAN
Mengenai alas an yang dapat membenarkan suatu pemberhentian, berbagai peraturan nasional yang memuat asas bahwa pemberhentian itu harus beralasan, putusan arbitrase dan pengadilan yang mengadakan tafsiran terhadap aturan itu dan juga praktik, menunjukkan suatu persamaan pendapat umum bahwa alasan-alasan itu dapat digolongkan dalam tiga golongan:
- Alasan-alasan yang berkenaan dengan pribadi buruh atau yang melekat pada pribaadi buruh, misalnya tidak cakap, tidak mampu;
- Alasan-alasan yang berhubungan dengan kelakuan buruh, misalnya tidak memenuhi kewajiban, melanggar disiplin;
- Alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan.
- Namun demikian, alasan-alasan yang disebutkan tadi, hendaknya jangan dipandang dengan sendirinya merupakan alasan-alasan yang benar untuk pemberhentian.
c. SANKSI TERHADAP PEMBERHENTIAN TAK BERALASAN.
Keharusan dan patokan yang ditetapkan dalam peraturan dengan tujuan membatasi pemberhentian yang tak beralasan akan tidak berguna, jika tidak ada kemungkinan untuk memaksakan pelaksanaannya.
Di Negara dimana peraturan yang berlaku memuat dengan tegas berlakunya asas bahwa pemberhentian harus beralasan, terdapat pula prosedur yang lebih formil untuk mendapatkan kembali buruh dan sanksi lainnya. Prosedur-prosedur yang lebih formil untuk menempatkan kembali buruh dan sanksi lainnya. Prosedur-prosedur semacam ini sangat berbeda-beda berhubung dengan system dan konsepsi nasional dan mengingat sumber dari ketentuan itu (undang-undang perjanjian-perburuhan dan lain-lain).
Di Negara kita ini, di mana pada umumnya tiap pemberhentian memerlukan izin dari yang berwenang, pada dasarnya tidak ada pemberhentian yang tak beralasan. Karena itu menurut perundang-undangan kita tidak ada ganti-rugi karena pemberhentian yang tak beralasan atau ganti rugi karena tidak mengindahkan tenggang waktu pernyataan pengakhiran. Kita hanya mengenal uang pesangon.