Undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 2 menetapkan bahwa tiap warga Indonesia berhak atas pekerjaan dan pengupahan yang layak bagi kemanusiaan. Ketentuan ini telah diorganikan kedalam Undang-undang No. 14 tahun 1969 ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja.
1. PENGANGGURAN
Yang dimaksud tenega kerja pada umumnya adlah semua penduduk yang mampu melakukan pekerjaan, kecuali misalnya :
• Anak-anak berumur 14 tahun ke bawah,
• Mereka yang sudah berusia di atas 14 tahun tapi masih mengunjungi sekolah untuk waktu penuh
• Mereka yang karena usia tinggi, cacat jasmani maupun rohani, tidak mampu melakukan pekerjaan,
• Mereka yang karena sesuatu tidak diperbolehkan melakukan sesuatu pekerjaan.
Dalam meninjau tenaga kerja ini, terutama yang mendapat perhatian bukanlah mereka yang sedang bekerja baik untuk diri sendiri maupun dalam hubungan kerja, melainkan mereka yang mampu bekerja tetapi tidak mendapat pekerjaan, yaitu para penganggur.
Asas bahwa setiap warga Negara , sesuai dengan kecakapannya berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan bahwa setiap orang yang melakukan pekerjaan, berhak atas pengupahan yang adil yang menjamin kehidupannya dengan keluarganya sepadan dengan martabat manusia.
2. PENGERAHAN/PENEMPATAN
Asas yang dianut Pemerintah sebelum perang dunia ke-II adalah mendirikan dan memelihara antar-kerja dengan tiada memungut bayaran di bawah pengawasan Pemerintah serta mengadakan panitia-panitia pada kantor antar kerja,terdiri atas wakil-wakil Pemerintah, buruh dan majikan, yang akan memberikan pertimbangan-pertimbangan mengenai kebijaksanaan dalam soal antar kerja ini.
Antar-kerja itu dilakukan oleh kantor antar-kerja (arbeidsbeurs). Pada kantor tersebut para penganggur mendaftarkan diri sebagai penawar tenaga. Pengusaha yang memerlukan tenaga, minta tenaga itu dari kantor tersebut. Kewajiban pengusaha untuk mendapatkan tenaga kerja hanya dengan perantaraan kantor antar-kerja, tidak ada.
Walaupun antar-kerja pada akhir-akhir ini dilakukan secara aktif, yaitu pegawai antar-kerja mengunjingi perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan pekerjaan bagi para penganggur yang telah mendaftarkan diri pada kantor penempatan tenaga, namun hasilnya tidak memuaskan, terutama bagi para penganggur itu sendiri.
Perlu adanya UU tentang penempatan tenaga, di mana majikan diwajibkan mendapatkan buruh-buruhnya dengan perantaraan kantor penempatan tenaga, hendaknya jangan dipandang semata-mata sebagai usaha langsung memperluas kesempatan bekerja, tetapi sebagai usaha untuk memimpin penempatan, dengan jalan mana dapat diharapkan adanya penempatan yang adil.
Jika penempatan dalam lapangan pekerjaan ini dilakukan dengan memperlihatkan kecakapan mereka yang bersangkutan, maka tertolonglah tidak hanya sebagian besar para penganggur baisa dan penganggur musiman, tetapi juga apa yang biasanya disebut setengah penganggur.