BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini, istilah kejahatan politik atau delik politik lebih memiliki makna sosiologis daripada yuridis. Hal ini dikarenakan tidak ada satu pun rumusan di dalam perundang-undangan kita yang memberikan pengertian kejahatan politik atau delik politik. Padahal untuk kepentingan praktis, batasan pengertian kejahatan politik mempunyai arti penting dalam rangka menentukan apakah pelaku kejahatan politik dapat diekstradisi atau tidak.
Dalam pasal 5 undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, disebutkan bahwa kejahatan politik tidak dapat diekstradisi. Akan tetapi pasal tersebut juga memberi pengecualian terhadap beberapa jenis kejahatan politik tertentu yang pelakunya dapat diekstradisikan sepanjang diperjanjikan antara negara Republik
Selain pembatasan pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau anggota keluarganya dianggap bukan sebagai kejahatan politik, dalam undang- undang ekstradisi terdapat lampiran yang memuat beberapa jenis kejahatan yang dapat diekstradisi. Sungguhpun demikian, tidak dapat secara a contrarie jenis-jenis kejahatan di luar yang ditentukan di dalam lampiran itu merupakan kejahatan politik. Sebab, di luar jenis kejahatan yang disebutkan dalam lampiran tersebut, masih sangat banyak jenis kejahatan yang tidak masuk dalam pengertian kejahatan politik.
Sehubungan dengan tidak adanya pengertian yuridis tentang kejahatan politik, maka kita harus mencari pengertian itu melalui berbagai referensi. Tulisan berikut ini akan mengulas tentang berbagai pengertian kejahatan politik dan parameter suatu perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan politik.
1.2 Identifikasi Masalah
Beberapa pokok masalah atau permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan kejahatan politik ?
2. Bagaimana parameter kejahatan politik itu ?
1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kejahatan politik.
2. Untuk mengetahui bagaimana parameter kejahatan politik itu.
1.4 Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan paper ini adalah: Study kepustakaan atau library research. Yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari data-data melalui kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kejahatan Politik
Masyarakat awam menyebut setiap perkara pidana yang substansinyya menyangkut konflik kepentingan antara warga negara dengan pemerintah yang bertalian dengan pengaturan kebebasan warga negara dalam negara hukum dan atau berfungsinya lembaga-lembaga negara sebagai delik politik atau kejahatan politik. Pendapat masyarakat yang demikian tidaklah dapat disalahkan. Sebab, begitu luasnya cakupan pengertian politik, maupun pengertian kejahatan. Dalam perspektif kriminologi istilah jahat dapat dilabelkan oleh orang yang berkuasa kepada perilaku tersebut mengancam keduduk yang dianggapnya legal. Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan, pendefinisian perbuatan pidana yang dikualifikasikan sebagai pidana politik senantiasa dipengaruhi oleh tantangan yang dihadapi oleh negara dalam kurun waktu tertentu dan persepsi dari elite pemegang kekuasaan negara terhadap tantangan tersebut.[1]
Dari segi istilah, kejahatan politik merupakan kata majemuk “kejahatan” dan “politik”. Namun apabila dilihat dari kata majemuk ini, kita akan menemui masalah, sebab begitu banyak pengertian yang kita dapatkan dari istilah kejahatan maupun istilah politik. Seperti yang telah diutarakan pada bagian pendahuluan, kejahatan dapat diberi pengertian berdasarkan Legal Definition of Crimes dan Social Definition of Crimes. Kejahatan dalam pengertian J D Crimes adalah perbuatan-perbuatan yang telah dirumuskan dalam Perundang-undangan pidana. Sementara kejahatan berdasarkan social Definition of crimes adalah definisi kejahatan sesuai dengan.
Dengan kata lain, kejahatan tersebut belum dirumuskan dalam perundang-undangan pidana, seperti kejahatan politik (political crime) kejahatan krah putih (white collar crime), kejahatan korporasi (corporate crime), kejahatan jalanan (Street crime), kejahatan dalam rumah tangga (domestic crime) dan lain sebagainya. Demikian pula untuk istilah politik, terlalu banyak pengertian politik yang dapat kita temukan, sebab politikberkaitan erat dengan tujuannegara, kekuasaan dalam arti mendapatkan dan mempertahankannya pengngambilan keputusan, kebijakan pengambilan keputusan dan lain sebagainya. Menurut Yuwono Sudarsono, politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap lingkungan sosial budaya. Politik juga sering disalahartikan, misalnya larangan untuk berpolitik, deidiologisasi, deparpolitisasi yang hampir semua orang telah mengetahui bahwa pelarangan itu juga merupakan perbuatan politik.
Sekalipun terdapat berbagai pengertian politik, dengan pencapaian tujuan oleh individu, manusia yang dihubungkan dengan faktor kekuasaan atau kewenangan. Studi yang dilakukan oleh Loubby Luqman dalam disertasinya—yang berjudul Kejahatan Terhadap Kemanan Negara—belum berhasil menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan politik atau delik politik. Beberapa ulasan berkenaan dengan kejahatan politik berikut mi sebagian besar diambilkan dan tulisan tersebut.
Dalam rangka menjelaskan pengertian kejahatan politik, para penulis hukum pidana mencoba membedakannya dengan kejahatan umum. Hazewinkel Suringa[2] penjahat politik tergolong pelaku yang bendasarkan keyakinan. Pada kejahatan pelaku berkeyakinan (overtuigzngc claders) bahwa pandangannya tentang hukum dan kenegaraan lebih tepat dan pandangan negara yang sedang berlaku. Oleh karena itu,iatidak mengakui sahnya tertib hukum ygng berlaku sehingga harus diubah atau diganti sama sekali sesuai dengan idealnya. Hal Ini berbeda dengan penjahat umum. Meskipun penjahat umum melakukan perbuatan pidana, tetapi penjahat umum tidak menyangsikan sahnya tertib hukum yang benlaku di negara
Menurut Remmelink, perbedaan antara penjahat politik dengan penjahat umum dapat dilihat dan motif yang mengendalikan perbuatannya. Penjahat dikendalikan oleh motif altruistik atau orang lain. Motif tersebut oleh keyakinannya bahwa tertib masyarakat atau negara atau pimpinan dirubah sesuai dengan idealnya. Sedang penjahat biasa dikendalikan oleh motif ego Remmelink juga membedakan antara kejahatan politik dan perbuatan politik.[3]
Penjahat politik menghendaki pengakuan dari norma-norma yang diperjuangkan agar dapat diterima oleh tertib hukum yang berlaku. Sernentara perbuatan politik dilakukan bukan semata-mata karena keberatan terhadap norma yang dilanggarnya, akan tetapi terutama keberatan terhadap norma-norma lain yang menjadi bagian dan tertib hukurnatau berkeberatanterhadap situasi-situasi hukum yang dianggap tidak adil. Pembedaan mi penting untuk kualifikasi kejahatan politik dengan perbuatan politik yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Perbuatan politik tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kekacauan di masyarakat, tetapi semata-mata untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan perbuatan, antara lain demonstrasi, petisi, aksi protes dan lain sebagainya. Seorang pelaku perbuatan politik menolak melakukan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan hati nuraninya.[4]
Christine van Wijngaert juga tidak secara jelas memberikan pengertian kejahatan politik atau delik politik. Christine membedakan a pseu4 d an politi cal refugee. Politi cal offender diartika sebagaikejahatan politik yang melanggar ketentuanpidana dengan dasar Sementara pseudo political fender diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan seolah-olah berlata politik, tetapi sebenarnya motivasipoliti sang lemah.
Sedangkan political refugee adalah mereka melarikan diri keluarnegeri karena pemerintahnya berdasarkan perbedaan politik, ras, agama dan lain sebagainya. Seorang pengungs ipolitik adalah seorang korban pasif dan suatu gejolak politik, tidak ikut aktif dalam suatu oposi di negerinya. Mereka tidak kembali ke negeri asalnya karena ada resiko akan mendapatkan perlakuan yang tidak adil.
Definisi lain mengenai kejahatan politik adalah menurut konferensi internasional tentang hukum pidana. Konferensi tersebut memberi pengertian kejahatan politik sebagai kejahata yang menyerang organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut. Penger tersebut juga belum menjelaskan siapa yang menjadi subyek hukum dan delik politik, apakah individu, korporasi, ataukah negara. Demikian pula organisasi mana yang dimaksud, sebab begitu banyak organisasi yang didirikan di suatu negara.
2.2 Parameter Kejahatan Politik
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas yang belum secara tegas memberikan pengertian kejahatan politik, kiranya untuk menerapkan apakah terhadap pelaku perbuatan yang diindikasikan mempunyai unsur politik dapat diekstradisi ataukah tidak masih memerlukan pembahasan secara mendalam dan memerlukan keputusan politik dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Memang sulit untuk menentukan pengertian kejahatan politik. Penjelasan tersebut di atas hanya menunjukkan perbedaan antara pelaku pada kejahatan biasa dengan kejahatan politik serta sifat perbuatannya itu sendiri.
Walaupun demikian sekedar pegangan untuk menentukan apakah suatu kejahatan termasuk sebagai kejahtan politik, parameter yang dapat digunakan adalah:
1. Perbuatan pidana tersebut ditujukan untuk mengubah tertib hukum yang berlaku di suatu negara;
2. Perbuatan pidana tersebut ditujukan kepada negara atau berfungsinya lembaga lembaga negara;
3. Perbuatan tersebut secara dominan menampakan motif dan tujuan politiknya;
4. Pelaku perbuatan mempunyai keyakinan bahwa dengan mengubah tertib hukum yang berlaku maka apa yang ingin dicapai adalah lebih baik dan keadaan yang berlaku sekarang.
Akan tetapi untuk menetapkan apakah suatu perbuatan merupakan kejahatan politik harus tetap hati-hati, karena demokratisasi politik dan penegakan hak asasi manusia telah menjadi isu global. Perjuangan berbagai bangsa untuk melepaskan diri dari kolonialisme telah nenjadikan kejahatan politik menjadi semakin nisbi. Kejahatan politik adakalanya juga berkaitan dengan dimensi tempat dan waktu.
Hal ini dikarenakan apa yang dianggap sebagai kejahatan di suatu negara belum tentu dianggap sebagai kejahatan di negara lain. Kritik terhadap kekuasaan negara adakalanya dianggap sebagai kejahatan oleh penguasa penguasa totaliter, tetapi tidak disebut sebagai kejahatan bagi negara yang menganut paham demokrasi. Seorangfreedomfighterjuga disebut sebagai penjahat atau pemberontak oleh penguasa berdasarkan tertib hukum yang berlaku, tetapi ia dapat disebut sebagai pahiawan manakala tertib hukum yang dicitakan terwujud sesuai dengan idealita yang dianutnya.
Masih berkaitan dengan parameter kejahatan politik, menentukan kejahatan politik, Hazewinkel Suringa juga mengutarakan empat teori dalam menentukan kejahtan politik.
Melihat parameter kejahatan politik dari keempat teori tersebut di atas tampak sekali bahwa kejahatan politik sangat tipis dengan kejahatan umum. Dikatakan demikian sebab kejahatan politik dapat dilakukan secara terang-terangan melalui kejahatan umum seperti pembunuhan, perusakan, bahkan. dengan teror dan lain sebagainya. Kejahatan politik juga dapat dilakukan secara connex dengan kejahatan biasa, misalnya pencunian. senjata untuk mendukung perjuangan politik.
Menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt kejahatan politik secara kriminologis dapat dibedakan dalam tiga bentuk. Pertama adalah kejahatan politik yang ditujukan kepada negara atau political crimes against the state. Kedua adalah kejahatan politik oleh negara atau domestic political crimes by the state. Ketiga adalah kejahatan politik internasional oleh negara atau internationalpo litical crimes by the state.
Ketiga bentuk kejahatan politik di atas dalam kaitannya dengan ekstradisi, hanya bentuk pertamalah yang relevan. Sedangkan bentuk kedua dan ketiga yang menjadi subyek hukum adalah negara, sehingga tidak termasuk subyek yang dapat diekstradisi. Tipe ketiga atau internationalpolitical crimes by the state dapat meliputi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap negara lain maupun lembaga-lembaga internasional terhadap negara tertentu. Political crimes against the state meliputi violent political crimes against the state maupun nonviolent political crimes against the state. Sementara domestic political crimes by the state meliputi state corruption dan state politi cal repression.[5]
Sebagaimana disebutkan di atas, kualifikasi kejahatan politik penting untuk menentukan apakah penjahat dapat diekstradisi ataukah tidak. Sudah barang tentu perihal ekstradisi ini terkait dengan masalah hak asasi manusia, yakni hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Ekstradisi adalah proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah me1akukan kejahatan yang dilakukan secara formal oleh negara kepada negara lain yang punyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili penjahat tersebut. Secara umum terdapat 4 (empat) asas hukum dalam pengaturan ekstradisi.
Pertama, double criminality principle atau asas kejahatan rangkap. Asas tersebut mengandung arti bahwa perbuatan yang dilakukan oleh tersangka, baik menurut hukum negara.yang meminta, maupun negara yang diminta dinyatakan sebagai kejahatan. Kedua, asas bahwa negara yang diminta berhak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri. Ketz asas bahwa jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan politik, maka permintaan ekstradisi ditolak. Keempat, asas bahwa suatu kejahatan yang seluruhnya atau sebagian diwilayahnya termasuk dalam yurisdiksi negara yang diminta, maka negara mi dapat menolak permintaan ekstradisi ini.
Berkenaan dengan pelaksanaan asas-asas tersebut terdapat suatu klausula bahwa meskipun kejahatan itu merupakan kejahatan politik atau kejahatan yang bermotif politik, yang dilakukan berupa pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara, raja, presiden atau sebutan lainnya maka yang bersangkutan dapat diekstradisi. Hal ini merupakan attentat clause yang dianut oleh
[1] Abdul Hakirn Garuda Nusantara, Pidana Politik Seri Diskusi Hukum dan Politik, Devisi Pendidikan dan Kajian Strategis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, (YLBHI), Jakarta, hlm.4.
[2] Loebby Louqman, Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Desertasi.
[3] Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 406
[4] Ibid, him. 407.
[5] Piers Beirne dan James Messerschmidt, Op.cit., hlm 285-303