BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah Indonesia telah membuktikan pergeseran dan perubahan format acara, scope dan otoritas hukum Islam. Menguatnya dua bentuk hukum, hukum adat dan hukum Islam, pada masa formatif menjadi model awal hubungan hukum di Indonesia. Hal ini kemudian bergeser menjadi penguatan dua kutub kepentingan yang berfokus pada subyek yang berbeda, yakni negara dan masyarakat. Kalau pada masa awal terjadi persaingan, disamping proses akulturatif, antara hukum adat dan hukum Islam, maka pada masa-masa berikutnya sampai pada masa Orde Baru persaingan kekuatan itu berubah menjadi persaingan antara kepentingan masyarakat untuk tetap tunduk pada otoritas teks fikih klasik yang mentradisi melawan kehendak pemerintah untuk melakukan unifikasi hukum. Persaingan ini menjadi parameter ekspresi baru yang cukup sensitif antara state dan society. Kecenderungan persaingan seperti yang terakhir ini menjadi sangat jamak di banyak negara Muslim.
Pergeseran semacam tersebut di atas, dalam konteks Indonesia, secara jelas digambarkan oleh munculnya teori-teori, yang salah satunya adalah teori receptie, salah satu teori yang mengindikasikan perdebatan otoritas penerapan hukum Islam. Teori receptie ini diprakarsai oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje. Teori receptie ini menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum Adat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat paper dengan mengambil judul ”Studi Kritik Terhadap Teori Receptie Dalam Hubungan Perbelakuan Hukum Islam Bagi Orang Islam di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perhatian Islam terhadap masyarakat?
2. Apakah yang melatarbelakangi munculnya teori receptie?
3. Bagaimanakah hubungan hukum adat dengan hukum Islam?
4. Bagaimanakah hubungan teori receptie terhadap perbelakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perhatian Islam terhadap masyarakat.
2. Untuk mengetahui latar belakang munculnya teori receptie.
3. Untuk mengetahui hubungan hukum adat dengan hukum Islam.
4. Untuk mengetahui hubungan teori receptie terhadap perbelakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
Paper ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perhatian Islam terhadap masyarakat, latar belakang munculnya teori receptie, hubungan hukum adat dengan hukum Islam, dan hubungan teori receptie terhadap perbelakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perhatian Islam Terhadap Masyarakat
Nilai-nilai hukum Islam tidak lepas dari prinsip penerapan yang dianutnya, serta tujuan hukum Islam itu sendiri. Dari prinsip-prinsip yang dianut dapat dilihat bahwa hukum Islam dalam prosesnya sangat memperhatikan adat (‘urf) setempat.
Adat atau ‘urf merupakan kebiasaan dalam masyarakat dan menjadi salah satu kebutuhan sosial yang sulit untuk ditinggalkan dan berat untuk dilepaskan. Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum Islam terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam sangat memperhatikan adat (‘urf) masyarakat setempat, misalnya mengenai larangan minuman keras (khamr).
Peluang adat (‘urf) untuk bisa dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum secara implisit diisyaratkan oleh beberapa ayat hukum dalam al-Qur’an, antara lain, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’rif” (al-Baqarah : 233); “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaknya diberi oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf” (al-Baqarah : 241). Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan mengenai macam, jenis atau bentuk, dan batasan banyak sedikitnya nafkah yang harus diberikan oleh orangtua kepada anaknya dan oleh suami kepada istrinya yang dicerai. Hal ini karena Islam memahami bahwa tingkat kehidupan, kemampuan, dan adat (‘urf) masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Syari’at Islam memberikan kesempatan untuk menetapkan ketentuan hukumnya sesuai adat (‘urf) setempat. Oleh karena itu, ketentuan hukum mengenai kewajiban memberi nafkah bagi suami atau orangtua yang ada dalam berbagai kitab fiqh (dari berbagai macam madzhab) berbeda-beda karena antara lain disebabkan perbedaan tradisi di mana ulama tersebut berada.
Berkaitan dengan itu, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”
Qaidah yang lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash.”
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka.”
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, tidak semua adat (‘urf) manusia dapat dijadikan dasar hukum. Yang dapat dijadikan dasar hukum adalah adat (‘urf) yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan hukum Islam itu sendiri. Itulah sebabnya para ulama mengklasifikasikan adat (‘urf) ini menjadi dua macam, yaitu (1) al-‘urf al-shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang ada dalam, nash (al-Qur’an dan al-Sunnah), (2) al-‘urf al-fasid, yaitu kebiasaan yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat, tetapi kebiasaan tersebut bertentangan dengan nash atau ajaran-ajaran syari’ah secara umum.
Adat (‘urf) yang dapat dijadikan hukum adalah al’urf al-shahih. Oleh karena itu, selama kebiasaan masyarakat tidak bertentangan dengan syari’at Islam, maka dapat dijadikan dasar pertimbangan penetapan hukum. Dengan demikian, sifat akomodatif hukum Islam terhadap tradisi masyarakat dapat terealisir tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
Memperhatikan keadaan suatu masyarakat merupakan hal yang mendasar dalam syari’at Islam. Oleh karena itu, syari’at Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya selalu disertai penjelasan tentang ‘illat (‘illah), yaitu alasan yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum, sekalipun tidak semua ketentuan hukum dijelaskan ‘illat-nya. Hal ini dimaksudkan agar dalam setiap ketetapan hukum berpijak dari alasan-alasan yang logis.
Berkaitan dengan masalah ‘illat ini, Syekh Abdul Fatah mengatakan bahwa semua tindakan kontroversial khalifah Umar bin Khatab, misalnya tidak memberikan zakat kepada mu’alaf dan tidak menerapkan hukum tangan bagi pencuri (yang sepintas melanggar ketentuan nash) karena Umar memandang bahwa hukum agama itu mengandung alasan-alasan tertantu (‘illah, rasio logis) yang harus diperhatikan. Suatu ketentuan hukum dapat dipahami secara utuh dan sempurna adalah terkait dengan kemampuan menggali dan menganalisis ‘illat.
Berkaitan dengan masalah ‘illat sebagai motivasi hukum ini, Islam memberikan prinsip sebagai
berikut:
“Ketetapan suatu hukum itu didasarkan atas ada atau tidak adanya “illat.”
“Pada dasarnya suatu ketetapan hukum dapat dihapus (berubah) dengan hilangnya ‘illat”.
“Apabila suatu hukum ditetapkan berdasarkan ‘illat, maka hukum tersebut dapat diganti (diubah) dengan hilangnya ‘illat tersebut.”
Kaidah-kaidah tersebut memberikan prinsip dasar bahwa dalam menerapkan atau menetapkan kebijakan hukum tidak boleh hanya berpegang kepada makna lahiriah atau bunyi lafadz dari suatu teks nash. Akan tetapi, harus dengan sungguh-sungguh menggunakan pemikiran dan penalaran intelektual, yaitu dengan menggali dan mencermati ‘illat yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum sehingga benar-benar rasional dan relevan. Oleh karena itu, suatu ketentuan hukum yang berbeda dan perubahan-perubahan hukum yang terjadi dari waktu ke waktu, tidak selalu dianggap sebagai tindakan yang menyimpang dari syari’at. Akan tetapi, sebaliknya hal itu harus dipandang sebagai dinamika dan nilai kontekstualitas hukum Islam itu sendiri.
Penetapan hukum yang didasarkan atas analisis ‘illat sebagaimana dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatab, yang terformulasikan dalam 3 (tiga) kaidah di atas merupakan tahapan yang penting dalam pengembangan analisis sosiologi hukum. Perbedaan di seputar aspek normatif hukum Islam dan aspek sosiologis manusia (masyarakat) akan selalu dijumpai dalam realitas keseharian. Di saat terjadi tarik menarik antara pendekatan normatif dan sosiologis, khalifah Umar menjatuhkan pilihannya pada faktor sosiologis dengan pertimbangan rasionalistik kemaslahatan untuk memaknakan (hukum) Islam dalam realita kehidupan tanpa meninggalkan semangat yang dipesankan dalam teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya, sangatlah penting untuk dipahami bahwa suatu sistem kepercayaan (agama) dalam suatu komunitas sosial jangan sampai ajaran-ajarannya, termasuk dalam bidang hukum, terjadi kehampaan nilai. Pergumulan dan perbenturan dengan nilai-nilai sosial selalu terjadi dan dapat mempengaruhi intensitas pengamalan keagamaan. Dalam keadaan yang demikian, tentunya Islam harus arif terhadap kondisi suatu masyarakat agar kehadirannya dapat bermakna dan diterima.
Mempertimbangkan faktor sosiologis sangat penting bila melihat hukum Islam dengan segala dinamikanya, antara lain bukanlah semata-mata sebagai lembaga hukum yang menekankan aspek spiritual, tetapi juga merupakan sistem sosial yang utuh bagi masyarakat yang didatanginya. Oleh karena itu, hukum Islam harus tetap eksis dalam masyarakat sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi dalam waktu dan ruang tertentu. Dari sudut pandang inilah nilai prinsip ‘illat (penalaran ta’lili) sangat penting untuk dijadikan dasar dalam menetapkan hukum Islam sesuai dengan kondisi masyarakat tertentu.
Ketidakterlepasan perhatian hukum Islam terhadap kondisi sosial masyarakat, sebenarnya telah tampak sejak awal proses pembentukan hukum Islam itu sendiri. Adanya asbab al-nuzul dari suatu ayat hukum dan asbab al-wurud dari suatu Hadis hukum merupakan contoh kongkrit bahwa ketetapan hukum dalam Islam merupakan refleksi sosial masyarakat yang mengelilinginya. Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya, para imam mujtahid atau para imam madzhab dalam menetapkan suatu hukum selalu memperhatikan kondisi sosial masyarakat. Perbedaan ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh imam Syafi’i yang memunculkan qaul qadim (pada waktu berada di
Berdasarkan fakta perkembangan hukum Islam itu, Ahmad Mustafa al-Maraghi menyatakan bahwa suatu kebijakan hukum dapat saja berubah sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Apabila suatu ketentuan hukum dirasakan sudah tidak maslahat dikarenakan terjadi perubahan kondisi sosial, maka dapat diganti dengan ketetapan baru yang lebih sesuai dengan kemaslahatan dan kondisi sosial yang ada. Hal yang sama juga dikatakan oleh Muhammad Rasyid Ridla, bahwa suatu ketetapan hukum dapat berubah-ubah karena perubahan tempat, waktu, kondisi, dan situasi sosial masyarakat. Jika suatu ketentuan hukum itu tidak dibutuhkan lagi, dapat digantikan dengan ketentuan hukum baru yang sesuai dengan waktu dan situasi terakhir. Perubahan kondisi sosial adalah suatu perubahan di sekitar institusi kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya. Masyarakat muslim adalah sekelompok masyarakat yang hidup dalam sistem dengan memegang al-Qur’an sebagai sumber ajarannya yang diyakini benar dan kekal. Oleh karena kekekalannya itulah, al-Qur’an justru harus dipahami sesuai perkembangan dan perubahan manusia di berbagai bidang; sosial, budaya, sains, dan teknologi.
Dengan berpegang pada prinsip yang demikian, hukum Islam tidak hanya sebagai aturan normatif, tetapi juga operatif sehingga hukum Islam benar-benar dirasakan sebagai rahmat, bukan sebagai ancaman. Dengan demikian, kaidah di atas sangat berperan dalam mewujudkan konsep perubahan sosial yang selalu terkait dengan perubahan hukum. Perbedaan pendapat tentang wali mujbir di kalangan ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah adalah contoh bahwa suatu ketetapan hukum (yang dihasilkan melalui ijtihad) tidak lepas dari kondisi sosial masyarakat. Lingkungan masyarakat Hanafiah wanita-wanitanya sudah terbiasa ikut serta dalam pergaulan kemasyarakatan dalam berbagai bidang sehingga ia dianggap mengetahui terhadap laki-laki yang cocok bagi dirinya. Sebaliknya, lingkungan masyarakat Syafi’iyah kaum wanitanya tidak terbiasa keluar rumah sehingga dalam menentukan calon suami, orangtua (wali) lebih mengetahui laki-laki yang baik dan maslahat bagi anaknya.
Keleluasaan yang diberikan Islam untuk mengembangkan dan menerapkan berbagai kebijakan hukum dengan segala teknisnya sesuai dengan konteks yang ada juga terdapat dalam prinsip: “Segala sesuatu (selain ibadah) pada dasarnya adalah boleh, kecuali akan dalil yang melarangnya.”
Dari prinsip tersebut dapat dipahami bahwa umat Islam dalam aktivitas kultural (selain masalah ibadah) seperti politik, kenegaraan, perekonomian, diberi kebebasan yang luas untuk melakukan kreativitas dan inovasi untuk mencari yang paling relevan dengan kondisi yang ada.
Berkaitan dengan prinsip ini, patut diperhatikan ungkapan Ahmad Zaki Yamani, “Banyak orang keliru memahami syari’ah, yaitu tidak dapat membedakan antara yang murni agama dan yang merupakan prinsip-prinsip transaksi keduniaan. Meskipun keduanya diambil dari sumber yang sama (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi prinsip-prinsip yang kedua didasarkan kepada kepentingan dan manfaat umum dan karenanya dapat berubah-ubah (sesuai dengan konteksnya) menuju yang terbaik dan ideal.”
B. Latar Belakang Munculnya Teori Receptie
Kecurigaan sementara pejabat pemerintah Hindia Belanda mulai dikemukakan melalui kritik terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Mereka memperkenalkan het Indische adat rech atau hukum adat
Sebelum Hurgronje ditunjuk sebagai penasehat, tahun 1859 telah dimulai politik campur tangan terhadap urusan keagamaan. Gubernur jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik para ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan. Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan Inlandsch Politiek, yakni kebijaksanaan mengenai pribumi untuk memahami dan menguasai pribumi. Demikian Snouck Hurgronje menegaskan. Maka, dialah yang oleh Harry J. Benda, disebut sebagai arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris. Politik ini didasari oleh suatu anggapan, bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.
Kemunculan teori receptie sebenarnya berawal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi dari daerah jajahan tidak memegang kuat ajaran Islam, karena orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak akan mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat.
Snouck Hurgronje khawatir adanya pengaruh Pan Islamisme yang dipelopori Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh dan lain-lain. Kekhawatiran Snouck Hurgronje, telah membuatnya menyusun dan menyampaikan beberapa nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda, dan dikenal dengan Islam policy, yang berisi tiga pokok pikiran:
1. Dalam kegiatan agama dalam arti sebenarnya (bidang ’ubudiah), pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang Islam dalam melaksanakan ajaran agamanya.
2. Dalam lapangan kemasyarakatan (bidang muamalah), pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat-istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jalan yang dapat menuntun taraf hidup rakyat jajahan kepada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda. Yakni dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini.
3. Dalam bidang ketatanegaraan (bidang siasah), mencegah tujuan yang dapat membawa atau menghubungkan gerakan pan Islamisme yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat bangsa Timur.
C. Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita. Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan dibeberapa daerah, misalkan ungkapan orang Aceh, ”hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut” (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda). Hubungan demikian terdapat juga di Minangkabau yang tercermin dalam pepatah, ”adat dan syara’ sanda menyanda syara’ mengato adat memakai.” Makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat dengan hukum Islam (syara’) erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan atau memakai syara’ itu dalam masyarakat. Hubungan adat dan Islam erat juga di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan sinkritisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama didaerah pedesaan.
Berbeda dengan bunyi pepatah tersebut di atas, dalam buku-buku hukum yang tertulis oleh para penulis Barat/Belanda dan mereka yang sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu, hubungan hukum adat dengan hukum Islam di Indonesia, terutama di Minangkabau, selalu digambarkan sebagai dua unsur yang bertentangan. Ini dapat dipahami, karena teori konflik yang mereka pergunakan untuk mendekati masalah hubungan kedua sistem hukum itu dengan sadar mereka pergunakan untuk memecah belah dan mengadu domba rakyat Indonesia guna mengukuhkan kekuasaan Belanda di tanah air kita. Karena itu pula sikap penguasa jajahan terhadap kedua sistem hukum itu dapat diumpamakan seperti sikap orang yang membelah bambu, mengangkat belahan yang satu (adat) dan menekan belahan yang lain (Islam). Sikap ini jelas tergambar dalam salah satu kalimat Van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat yang terkenal, ketika ia berpolemik dengan pemerintahnya mengenai politik hukum yang akan dilaksanakan di Hindia Belanda. Menurut Van Vollenhoven. Hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum bagi golongan bumi putera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat. Sebab, kalau hukum adat didesak (oleh hukum Barat), hukum Islam yang akan berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda.
Karena itu ada yang mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai konflik antara hukum Islam dengan hukum adat pada hakikatnya adalah isu buatan politikus hukum kolonial saja. Salah seorang diantaranya adalah B. Ter Haar yang menjadi master architect pembatasan wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurut Ter Haar, antara hukum adat dengan hukum Islam tidak mungkin bersatu, apalagi bekerja sama, karena titik tolaknya berbeda. Hukum adat bertitik tolak dari kenyataan hukum dalam masyarakat, sedang hukum Islam bertitik tolak dari kitab-kitab hukum (hasil penalaran manusia) saja. Karena perbedaan titik-tolak itu, timbulah pertentangan yang kadang-kadang dapat diperlunak tetapi seringkali tidak.
Dalam mengambarkan hubungan adat dengan Islam di Aceh, Minangkabau dan Sulawesi Selatan di atas, umpamanya, para penulis barat/Belanda selalu mengambarkan kelanjutannya dalam pertentangan antara kalangan adat dan kalangan agama (Islam). Kedua-duanya seakan-akan merupakan dua kelompok yang terpisah yang tidak mungkin bertemu atau dipertemukan. Padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dikalangan adat terdapat orang-orang alim dan kalangan ulama dijumpai orang yang tahu tentang adat. Gambaran ”Pertentangan” antara kalangan adat dengan kalangan agama mereka kontruksikan dalam”pertentangan” antara hukum perdata adat dengan hukum perdata Islam dalam perkawinan dan kewarisan. Mereka gambarkan seakan-akan ”Pertentangan” itu tidak mungkin diselesaikan.
Menurut penglihatan penulis-penulis barat/Belanda, perkawinan yang dilangsungkan menurut ketentuan hokum Islam hanyalah kontrak antara pribadi-pribadi yang melangsungkan pernikahan itu saja, sedang perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat adalah ikatan yang menghubungkan dua keluarga, yang tampak dari upacara waktu melangsungkan perkawinan itu. Karena penglihatan yang demikian, mereka lebih menghargai dan menghidup-hidupkan perkawinan menurut hukum adat saja dari pada perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum Islam. Mereka tidak mau melihat kedalam tradisi Islam dimana keluarga (terutama orang tua) ikut bertanggung jawab mengenai hubungan kedua mempelai tidak hanya waktu mencari jodoh, tetapi juga waktu melangsungkan perkawinan. Bahkan keluarga akan turut berperan pula untuk menyelesaikan perselisihan kalau kemudian hari terjadi kekusutan dalam kehidupan rumah tangga orang yang menikah itu. Mereka tidak tahu, karena tidak mempelajarinya, bahwa pernikahan menurut Islam adalah sarana Pembinaan rasa cinta dan kasih sayang dalam dan antar keluarga.
Menurut penulis-penulis Barat/Belanda, masalah kewarisan adalah contoh yang paling klasik yang menampakkan pertentangan antara hukumIslam dengan hukum adat di Minangkabau. Seperti yang telah dikemukakan diatas, secara teoritis, menurut mereka, konflik ini tidak mungkin diselesaikan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antar ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam perang Paderi di abad ke-19 dahulu telah melahirkan rumusan yang mantap mengenai hubungan hukum adat dengan hukum Islam. Rumusan itu antara lain berbunyi (di Indonesiakan) ”adat bersendi syara’’, syara’’ bersendi kitabullah (Quran).” Rumusan itu diperkuat oleh Rapat (oarang) empat jenis (ninik, mamak, imam khatib, cerdik-pandai, manti-dubalang) Alam Minangkabau yang diadakan di Bukittinggi tahun 1952 dan dipertegas lagi oleh kesimpulan seminar hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang Bulan Juli 1968. Dalam rapat dan seminar itu ditegaskan bahwa pembagian warisan orang Minangkabau, untuk (1) harta pusaka tinggi yang diperbolehkan turun-menurun dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang disebut pusaka rendah, diwariskan menurut syara’’ (hukum Islam). Dengan kata lain, sejak tahun 1952 kalau terjadi perselisihan mengenai harta pusaka tinggi maka penyelesaiannya berpedoman pada garis kesepakatan hukum adat, sedang terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraa’id (hukum kewarisan Islam). Oleh seminar hukum adat Minang kabau tahun 1968 itu juga diserukan kepada seluruh hakim di Sumatera Barat dan Riau agar memperhatikan kesepakatan tersebut.
Demikianlah, hubungan hukum adat dengan hukum Islam yang dianggap oleh penulis-penulis barat/Belanda sebagai pertentangan yang tidak dapat terselesaikan, telah diselesaikan oleh orang Minangkabau sendiri dengan kesepakatan di Bukit tinggi dan seminar di Padang seperti yang telah dikemukakan di atas. Hal yang sama terjadi pula di Aceh dengan pembentukan propinsi (1959) mempunyai status istemewa, sesuai dengan keinginan orang Aceh sendiri, untuk mengembangkan agama, termasuk hukumnya, adat-istiadat dan pendidikan.
Sementara itu, perlu dicatat bahwa setelah Indonesia merdeka, khusus di alam Minangkabau telah berkembang pula suatu ajaran yang mengatakan bahwa hukum Islam adalah penyempurnaan hukum adat. Karena itu, kalau terjadi perselisihan antara keduanya, yang dijadikan ukuran adalah yang sempurna yakni hukum Islam. Dengan kata lain, adat atau hukum adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam masyarakat kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
D. Hubungan Teori Receptie Terhadap Perbelakuan Hukum Islam Bagi Orang Islam di Indonesia
Profesor C Snouck Hurgrounje, seorang ilmuan Belanda dan penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam soal-soal Islam dan anak negeri, telah melakukan pendistorsian pemahaman yang fatal dengan mengemukakan pandangan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masih-masing.
Hukum Islam hanya akan berlaku apabila diterima oleh hukum adat setempat. Hukum adat berada pada posisi superior dan menjadi penentu berlaku tidaknya hukum Islam dalam masyarakat. Snouck Hurgronje menyebut pandangannya itu sebagai teori receptie.
Teori receptie sebenarnya berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa kalau orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjajahan akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncangan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat, dan memberikan dorongan-dorongan kepada mereka untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintah Hindia Belanda.
Profesor Hazairin, dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Nasional, menyebut bahwa teori receptie Snouck Hurgronje adalah teori iblis, karena mengandung maksud untuk menghapus berlakunya hukum Islam bagi orang-orang Islam Indonesia. Teori ini menurutnya bertentangan dengan iman umat Islam.
Dalam logika Hazairin, iblislah yang selalu berusaha untuk menjauhkan setiap orang muslim untuk menaati ajaran agamanya, termasuk memberlakukan hukum agama, yaitu hukum Islam. Oleh karena itu, teori receptie sangat identik dan sejalan dengan tugas-tugas yang diemban iblis sebagai musuh manusia.
Dapat disimpulkan bahwa teori receptie pada hakikatnya merupakan sebuah taktik dan strategi kolonial dalam memisahkan kaum muslim
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pada bab pembahasan, penulis menyimpulkan bahwa hukum Islam dalam prosesnya sangat memperhatikan adat setempat. Namun, baru dapat diterima jika adat tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan dari ajaran Islam.
Teori receptie dipelopori oleh Snouck Hurgronje. Teori ini muncul dikarenakan oleh keinginan Snouck Hurgonje agar orang-orang pribumi dari daerah jajahan tidak memegang kuat ajaran Islam, karena orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak akan mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat.
Teori receptie pada dasarnya merupakan siasat Snouck Hurgronje agar masyarakat Islam
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi,
Daud Ali Mohammad. 1999. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.
Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi.
Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam.
Mansyur. 1991. Sejarah Minangkabau.
Ridla, Muhammad Rasyid. TT. Tafsir al-Manar,
Suepomo. 1977. Bab-Bab Tentang Hukum Adat.
Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah: The Saudi Publishing House.